Jakarta (Greeners) – Gelombang panas (heatwave) telah melanda sejumlah negara dunia. Bahkan kecenderungannya negara yang merasakan gelombang panas bertambah. Kenaikan suhu udara ekstrem ini terjadi di beberapa negara, seperti di Benua Eropa hingga China.
Negara Portugal misalnya, pada minggu lalu, Rabu (13/7) tercatat sebagai negara dengan suhu paling tinggi. Suhu tersebut terjadi di Kota Pinhao yaitu mencapai 47 derajat Celsius. Akibatnya, kekeringan hingga kebakaran hutan terjadi. Bahkan di negara ini terjadi sekitar 1.000 kematian.
Gelombang panas juga melanda Spanyol dengan suhu mencapai 42 derajat Celsius. Akibatnya, sekitar 500 orang meninggal dunia. Selain itu terjadi kebakaran hutan dan lahan di 30 lokasi.
Kenaikan suhu imbas gelombang panas juga terjadi di negara Prancis, tepatnya di Kota Cazaux dengan suhu mencapai 42,4 derajat Celsius. Selain itu, sekitar 32.000 orang terpaksa mengungsi.
Di China, gelombang panas terjadi di beberapa kota, seperti Shanghai. Setidaknya 86 kota telah mengeluarkan peringatan waspada karena suhu udara telah lebih dari 40 derajat Celsius.
Imbasnya, beberapa jalan di China retak hingga genteng bangunan meleleh. Pusat Meteorologi Nasional Negara Tirai Bambu tersebut memperkirakan gelombang panas akan terjadi hingga 15 Agustus 2022 nanti.
Sama halnya dengan China, di negara Inggris gelombang panas mampu melelehkan landasan pacu Angkatan Udara Inggris Royal Air Force. Kegiatan penerbangan terpaksa harus berhenti sementara.
Akibat suhu di Inggris maksimum mencapai 40 derajat Celsius ini, Badan Keamanan Inggris mengumumkan keadaan darurat nasional.
Sebelumnya, gelombang panas telah menerjang wilayah di barat laut India dan Pakistan pada Mei 2022 lalu. Bahkan, tercatat rekor tertinggi yaitu suhu lebih dari 49 derajat Celsius. Hal yang sama terjadi di Pakistan, dengan suhu terpanas mencapai 51 derajat Celsius. Gelombang panas dunia yang terjadi di India bahkan menyebabkan penduduk gagal panen hingga pemadaman air dan listrik.
Gelombang Panas Dunia Picu Krisis Pangan Hingga Kematian
Menanggapi fenomena gelombang panas dunia tersebut, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Dodo Gunawan punya penjelasan tersendiri.
Menurutnya, gelombang panas yang terjadi di India terjadi karena daratan atau benua beriklim gurun, tanahnya gersang sehingga bersuhu tinggi secara permanen saat musim panas.
“Sementara di wilayah yang berupa daratan seperti Benua Eropa saat musim panas dapat terjadi peristiwa gelombang panas. Sebabnya karena diikuti dengan tingkat kelembapan yang tinggi,” katanya kepada Greeners, Jumat (22/7).
Gelombang panas merupakan kondisi cuaca yang melonjak diikuti kenaikan suhu ekstrem di suatu wilayah. Gelombang panas juga menyebabkan ancaman seperti kekeringan, masalah kesehatan karena krisis pangan, kebakaran hutan hingga kematian.
Lebih jauh Dodo menyebut, utamanya gelombang panas terjadi di wilayah mana saja ketika ada udara bertekanan tinggi sekitar 3.000 hingga 7.600 meter. Ia memastikan gelombang panas tak akan terjadi di Indonesia karena Indonesia merupakan negara maritim. “Kalaupun ada sumber panas dari darat akan didinginkan oleh masa udara dari lain,” imbuhnya,
Sepanjang catatan BMKG, Indonesia belum pernah mengalami gelombang panas. Ia menyebut hawa panas bisa mungkin terjadi akibat cuaca ekstrem. Misalnya, siklon tropis Dahlia, Cempaka dan Seroja.
“Kalau siklon tropis lebih mungkin terjadi dibanding gelombang panas di Indonesia,” ujar dia.
Melanda Lebih Cepat dari Proyeksi
Sementara itu, pakar lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa menyatakan, banyak ilmuwan yang menyatakan bahwa gelombang panas di Inggris seharusnya terjadi tahun 2050 nanti.
“Kejadian gelombang panas yang terjadi saat ini menjadi bukti bahwa kita tidak bisa meremehkan dampak dari perubahan iklim. Makanya kita harus hati-hati,” katanya.
Dampak gelombang panas bukan saja bisa melelehkan jalan raya, melengkungnya rel kereta api, kebakaran hutan, hingga kekeringan. Akan tetapi gelombang panas yang terjadi dalam jangka panjang dapat mengancam keberlanjutan ekosistem wilayah sekitar.
“Ekosistem di satu wilayah memang sesuai dengan iklim yang ada di sana. Dikhawatirkan meningkatnya suhu karena gelombang panas dapat mengancam baik ekosistem mikro dan makro, seperti pertanian,” ujar dia.
Ancaman gelombang panas pada ekosistem akan berimbas pada produktivitas pertanian. Fenomena gagal panen di India telah menjadi bukti nyata bahwa gelombang panas turut memengaruhi keberlanjutan ekosistem lingkungan.
Mahawan juga menyorot bahwa meski Indonesia tak berpotensi terjadi gelombang panas, tapi harus tetap meningkatkan kewaspadaan. Ini seiring dengan peningkatan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir hingga 2020 Indonesia mengalami kenaikan suhu kurang dari 1 derajat Celsius. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC memperingatkan Indonesia akan mengalami kenaikan suhu terutama di pulau- pulau utama pada tahun 2100 yaitu hingga dua derajat Celsius.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin