Jakarta (Greeners) – Percepatan transisi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) untuk mengejar pengurangan emisi karbon butuh kehati-hatian. Hal ini menyusul dampak tingkat cemaran (toksisitas) pada manusia dan polusi udara tingkat tapak saat pembuatan salah satu komponennya, hingga berpotensi menghasilkan limbah baterai kendaraan listrik.
Direktur Program Trend Asia Ashov Birry mengatakan, penerapan adopsi EV merupakan solusi pengurangan emisi karbon. Namun, bukan satu-satunya solusi terlebih di tengah euforia global untuk transisi kendaraan listrik.
Sektor transportasi menyumbang emisi CO2 sebesar 6 % dari total emisi dan menyumbang sebesar 27 % dari total emisi sektor energi.
Dalam hal ini, Ashov memperingatkan perlu kehati-hatian dalam menerapkan EV. Dengan mengadopsi EV di satu sisi dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, terdapat peningkatan tingkat cemaran (toksisitas) pada manusia.
“Karena penggunaan logam, bahan kimia dan energi yang lebih besar untuk produksi mesin penggerak dan baterai tegangan tinggi,” katanya dalam diskusi bertajuk “Beralih ke Kendaraan Listrik, Lebih Banyak Manfaat atau Mudharatnya?”, Jumat (14/4).
Polusi di Tingkat Tapak
Tak hanya itu, dampak lingkungan dari EV dalam fase produksi lebih tinggi daripada Internal Combustion Engine (ICEV) dalam pembuatan baterainya. Walaupun dalam masyarakat urban, penggunaan EV sama sekali tak menghasilkan polusi. Namun, Ashov mengingatkan polusi udara di tingkat tapak produksi komponen utama baterai untuk EV.
“Pencemaran di smelter produksi itu luar biasa besarnya. Bukan sekadar euro 4 tapi seperti batu bara dibakar langsung dan debunya ke mana mana,” jelas dia.
Ia tak menampik semakin gencar dorongan percepatan transisi kendaraan listrik turut memperbesar polusi dari pertambangan ekstraktif berupa nikel. Oleh karena itu, ia mendorong pertambangan berkelanjutan (sustainable mining). “Kita butuh tata kelola dan penegakkan hukum yang luar biasa,” tegasnya.
Perhitungan Trend Asia terakhir masih ada 13,8 giga watt PLTU batu bara dalam tahap pembangunan. Hingga saat ini masih ada sekitar 40 giga watt PLTU terpasang di Indonesia dengan mayoritas 60 % bauran energi di Indonesia.
Potensi Limbah Baterai Kendaraan Listrik di Masa Depan
Sementara itu, di sisi lain dalam fase daur ulang, penggunaan kembali dan pembuatan ulang baterai akan turut membantu meningkatkan manfaat lingkungan dari EV. “Tapi harus hati-hati mengingat kesiapan Indonesia dalam menghadapi masalah limbah baterai ke depan,” imbuhnya.
Southeast Asia Director of Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Faela Sufa mengingatkan agar memprioritaskan transisi kendaraan listrik pada transportasi publik. Jarak tempuh transportasi publik jauh lebih besar daripada kendaraan pribadi.
“Jarak tempuh layanan transportasi publik harian seperti di Jakarta mencapai 200 kilometer. Ini berbeda jauh dengan kendaraan pribadi yang hanya 20 kilometer hingga 40 kilometer. Dampaknya akan sangat lebih besar jika elektrifikasi ini diterapkan pada transportasi publik,” paparnya.
Selain itu, pembangunan infrastruktur berupa charging stations pada transportasi publik berpotensi lebih mudah mengingat rute tetap yang ada.”Karena kalau pembangunan infrastruktur charging stations tidak bisa kita pastikan akan mempersulit adopsi kendaraan listrik ini,” ucapnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin