Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut lokasi Indonesia yang berada di garis ekuator menyebabkan dinamika cuaca di berbagai daerah. Perubahan tersebut ditandai dengan perbedaan musim yang kontras di sejumlah wilayah dan di saat bersamaan.
“Pada saat musim kemarau melanda hampir di sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan, wilayah bagian tengah mulai dari Sulawesi Tengah, Maluku hingga Papua bagian utara malah berpotensi mendapatkan curah hujan relatif tinggi dalam dua dasarian ke depan,” ucap BMKG Dwikorita Karnawati dalam rilis resminya pada Senin, 20 Juli 2020.
Deputi Klimatologi BMKG Herizal mengatakan keragaman iklim tersebut menyebabkan tiga pola hujan yang berbeda, yaitu pola hujan monsun, ekuatorial, dan lokal. Tipe curah hujan monsun dicirikan dengan satu puncak musim hujan dan kemarau (unimodal). “Puncak musim hujan umumnya antara Desember, Januari, atau Februari dan puncak musim kemarau pada Juni, Juli, Agustus,” ujarnya.
Baca juga: Pembukaan Lahan Penyebab Banjir di Luwu Utara
Sementara wilayah dengan pola hujan ekuatorial mendapatkan hujan hampir sepanjang tahun dengan dua puncak hujan dalam setahun (bimodal). Menurutnya, pola hujan tersebut biasa terjadi pada Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekuinoks matahari. Sedangkan pola lokal dicirikan oleh distribusi hujan yang berkebalikan dengan pola monsun dengan puncak unimodal.
“Pola iklim antara Jawa secara umum dengan Luwu Utara yang terdampak banjir saat ini, berada pada pola iklim yang berbeda tersebut,” kata dia.
Pemantauan BMKG terhadap perkembangan musim kemarau hingga pertengahan Juli mencatat dari 342 daerah zona musim (ZOM) di Indonesia, sebanyak 64 persen di antaranya telah memasuki musim kemarau. Daerah-daerah tersebut adalah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Bara, Bali, Jawa Timur, sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Barat, DKI Jakarta bagian barat dan timur. Berikutnya pesisir utara Banten, pesisir timur Jambi, Riau dan Aceh, Sumatera Utara bagian tengah, utara dan timur, Kalimantan Selatan bagian barat, Kalimantan Tengah bagian timur.
Baca juga: Sampah Plastik Mendominasi TPST Bantar Gebang
Untuk wilayah Sulawesi meliputi Sulawesi Barat bagian selatan, Pesisir barat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara bagian selatan. Sedangkan di timur Indonesia mencakup Maluku bagian barat, Papua Barat bagian timur, serta Papua bagian tengah, selatan maupun utara.
Menurut Herizal dari area yang telah memasuki musim kemarau, 30 persen ZOM mengalami kondisi kering berdasarkan indikator Hari Tanpa Hujan berturut-turut (HTH). Durasinya musim kemarau bervariasi antara 21 sampai 30 hari, 31 sampai 60 hari, dan di atas 61 hari. “HTH terpanjang terjadi di Oepoi, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur selama 70 hari,” kata Herizal.
Waspada Potensi Banjir
Menurut Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Nasrullah, sejumlah wilayah berpotensi mengalami banjir. Prakiraan tersebut berdasarkan penggabungan data curah hujan probabilistik dengan peta daerah rawan banjir.
Ia mengatakan sebagian Sulawesi Tengah dan Papua berpotensi terkena banjir dengan peluang kategori tinggi. Sementara potensi banjir dengan peluang kategori menengah terdapat di sebagian Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua. “Pada dasarian I Agustus, sebagian Papua Barat berpotensi banjir kategori menengah”, kata dia.
Dwikorita menambahkan untuk mengurangi risiko bencana hidrometeorologi, lima Balai Besar BMKG menyebarluaskan peringatan dini ke masyarakat. Badan meteorologi bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta jaringan radio setempat. “Bagi masyarakat yang hendak memperoleh informasi terkini, BMKG membuka layanan informasi cuaca 24 jam,” ucapnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani