Jakarta (Greeners) – Langkah Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melabeli kandungan Bisphenol-A (BPA) untuk galon guna ulang dinilai tak fair. Selain bisa mengurangi timbulan sampah ke lingkungan, galon guna ulang telah mengantongi Standar Nasional Indonesia.
Sebelumnya, BPOM menyebut pelabelan risiko BPA akan mereka lakukan agar ada perlindungan dari potensi bahaya imbas pemakaian galon guna ulang.
BPOM menemukan kecenderungan yang mengkhawatirkan setelah uji post-market air minum galon guna ulang dalam satu tahun terakhir. Temuannya, yaitu bahaya migrasi BPA pada sarana distribusi dan fasilitas produksi industri air minum dalam kemasan (AMDK) telah mencapai ambang batas berbahaya.
BPA adalah bahan campuran utama polikarbonat, jenis plastik pada kebanyakan galon guna ulang yang beredar di pasar. BPA menjadikan plastik polikarbonat mudah dibentuk, kuat dan tahan panas. Plastik polikarbonat mudah masyarakat kenali dengan kode daur ulang 7 pada dasar galon.
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang mengatakan, hasil uji migrasi BPA atau perpindahan BPA dari kemasan pangan ke dalam pangan sebanyak 33 persen sampel pada sarana distribusi dan peredaran.
Adapun 24 persen sampel pada sarana produksi berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg/kg yang Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) tetapkan dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.
“Potensi bahaya di sarana distribusi dan peredaran 1,4 kali lebih besar dari sarana produksi,” katanya.
Langkah Pelabelan BPA di Galon Guna Ulang Tidak Fair
Menanggapi hal itu, peneliti utama kampanye plastik Greenpeace Afifah Rahmi Andini menilai, langkah tersebut tidak fair. Ia menyebut kajian risiko kemasan plastik perlu dilihat dalam spektrum yang lebih luas. Beragam plastik memiliki zat adiktifnya masing-masing sehingga memiliki kelebihan maupun kekurangan.
Polycarbonate (PC) yang selama ini galon pakai ulang gunakan mengandung BPA. Hal ini perlu untuk memastikan plastiknya keras dan tahan panas. Oleh karena itu bisa disanitasi pada suhu tinggi dan aman untuk dipakai berulang kali.
Sementara pada galon sekali pakai yang menggunakan Polietilena Tereftalat (PET) mengandung phtalates agar kemasannya bisa fleksibel atau lentur. Kendati demikian, bukan berarti tak ada kekurangannya. Jika PET terkena panas maka ada migrasi kimianya sehingga tidak aman untuk dipakai ulang.
“Jadi meskipun plastik jenis selain PC (PET) tidak ada kandungan BPA di dalamnya, belum tentu juga lebih aman digunakan,” tandasnya.
Afifah menekankan, perlunya riset yang lebih komprehensif untuk mengetahui risiko lain dari seluruh kemasan plastik yang beredar. Tujuannya agar masyarakat dapat gambaran dan edukasi setiap jenis kemasan plastik yang mereka gunakan.
Ia menambahkan, bahwa selama ini AMDK galon guna ulang telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI). Sebelum proses pemasaran tentunya produk galon guna ulang telah melalui proses kajian kelayakan konsumsi. “Kalau memang ada yang melebihi ambang batas kriteria, produk tersebut pasti tak lolos uji SNI,” imbuhnya.
Alternatif Penggunaan Galon Sekali Tambah Beban Pencemaran Lingkungan
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi berpandangan senada. Menurutnya, kemasan plastik seperti galon telah memiliki SNI atau standar plastik kemasan dari Kementerian Perindustrian. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 Tentang Keamanan Pangan mengatur hal itu.
“Setiap orang yang melakukan produksi pangan dalam kemasan wajib menggunakan bahan kemasan pangan yang tidak membahayakan kesehatan manusia,” kata Tulus.
Selain itu Tulus juga menyorot maraknya AMDK yang ada justru semakin menambah beban pencemaran lingkungan. Ia menilai, alternatif pemakaian galon sekali pakai justru bertentangan dengan kebijakan pemerintah menekan penggunaan kemasan plastik sekali pakai.
“Yang kami khawatirkan galon sekali pakai ini akan menambah beban pencemaran lingkungan. Pemerintah sudah menekan penggunaan plastik sekali pakai tapi kita malah membuka keran lainnya,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin