Jakarta (Greeners) – Upaya konservasi keanekaragaman hayati (kehati) terus menghadapi berbagai kendala, baik dari sisi penegakan hukum maupun kebijakan. Awal tahun 2015 semula diharapkan menjadi titik cerah semangat perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun, revisi tersebut gagal rampung dan belum diketahui kejelasannya hingga kini.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Profesor Hariadi Kartodiharjo mengatakan ada tiga hal terkait tidak selesainya revisi UU yang sering disebut UU Konservasi ini, yaitu pertama, adanya politik investasi swasta terkait pengelolaan kawasan konservasi; kedua, diperbolehkannya kawasan hutan adat menerima investasi swasta secara langsung; dan ketiga, masih adanya perbedaan kawasan konservasi yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Ketiga hal itulah yang menjadi substansi pembahasan terakhir yang saya ikuti pada awal tahun 2018 lalu dan kemudian ada keputusan pemerintah untuk tidak melanjutkan pembahasannya,” ujar Hariadi saat ditemui Greeners pada acara Mengenal Peran KEHATI dalam Konservasi Hutan Indonesia di Manggala Wanabhakti, Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Menurut Hariadi dengan tidak rampungnya revisi UU Konservasi, pemerintah seolah-olah melihat tidak ada masalah dengan UU ini, oleh karena itu perubahan tidak diterima dan tidak ada kepastian dari perbaikan-perbaikan dari kelemahan yang ada.
“Kalau saya lihat, pro kontranya tidak pernah dinyatakan secara resmi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jadi yang mengetahui hanya eksekutif saja. Mestinya kalau pemerintah tidak setuju akan revisi seharusnya ada draf versi pemerintah, kalau ini tidak ada. Dan sebenarnya KLHK itu memiliki 2 jenis draf yang tidak pernah keluar ke publik, ini juga menjadi tanda tanya besar,” ungkap Hariadi.
BACA JUGA: Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 Harus Hindari Tumpang Tindih Peran Kementerian
Sebelumnya pada diskusi “Catatan Akhir Tahun 2018 Pokja Konservasi: Nasib Gantung Konservasi Kehati” yang diadakan tanggal 14 Desember 2018 lalu bersama perwakilan dari kedua tim sukses pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 2019 di Hotel Sofyan Cut Meutia, Cikini, perwakilan dari Tim Kampanye Nasional Pasangan Capres dan Cawapres 2019 Nomor Urut 1, Agus Sari, mengatakan bahwa kendala terhadap revisi UU Konservasi ini adalah tidak adanya prioritas sehingga urusan lingkungan dan konservasi ini selalu berada di belakang.
“Yang paling besar kendalanya parlemen kita agak jeblok. Coba dilihat saja ada berapa puluh UU yang dibuat tapi berapa yang dapat terealisasi? Kalau tidak selesai alasannya ada tahun politik sehingga tidak bisa naik ke daftar prioritas yang lebih penting. Pasti selalu yang diprioritaskan itu urusan politik dan ekonomi,” kata Agus kepada Greeners saat ditemui usai acara diskusi.
Sementara itu, perwakilan dari Badan Pemenangan Nasional Pasangan Capres dan Cawapres Nomor Urut 2, Endro Hermono menekankan pada aspek harmonisasi dari pihak pengambil kebijakan.
“Keselarasan sangat penting. Jika pembuat kebijakan tidak membuat kesalarasan akan membuat konflik. Misalnya, masalah terumbu karang antara KLHK dan KKP, ada perbedaan kebijakan yang membuat konflik di revisi UU No. 5/1990 ini,” tuturnya.
BACA JUGA: Masyarakat Adat Belum Masuk Dalam Revisi UU Konservasi
Deputi Direktur Bidang Pengembangan Program Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Raynaldo Sembiring secara tegas mengatakan penegakan hukum hendaknya mempunyai rencana, strategi dan proyeksi kedepannya.
“Di era saat ini, hendaknya sudah mulai memikirkan agar penegakan hukum berkontribusi terhadap pemulihan keanekaragaman hayati, baik dari opsi sarana penegakan hukum maupun alternatif pemidanaan,” ujar Raynaldo.
Raynaldo mengatakan dalam kehidupan bernegara fondasinya adalah regulasi. Menurutnya tidak perlu mempertentangkan antara regulasi dan implementasi, keduanya harus diatur dan dilaksanakan dengan baik.
“Satwa atau tumbuhan tidak bisa membela dirinya sehingga diperlukan manusia untuk mengatur perlindungannya dan bagaimana agar implementasi tersebut bisa berjalan dengan baik,” pungkas Reynaldo.
Penulis: Dewi Purningsih