Jakarta (Greeners) – Pemerintah Indonesia didorong untuk mampu mamanfaatkan peluang Presidensi KTT G20 untuk melakukan percepatan transformasi energi bersih. Indonesia harus mampu membuktikan best practice agar bisa bersaing hingga penetrasi ke pasar ekspor khususnya dalam energi baru terbarukan (EBT).
Dalam ajang Konferensi Tingkat Tinggi Climate Change Conference (KTT COP-26), pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencanangkan target penurunan emisi atau net zero emission pada tahun 2060. Sementara pengurangan emisi sebesar 29 % targetnya pada tahun 2030 dengan tanpa bantuan internasional tertuang dalam dokumen national determined contribution (NDC).
Pengamat energi Eko Adhi Setiawan menyatakan, target tersebut bisa terwujud melalui percepatan transisi energi bersih. Percepatan ini tak hanya mengandalkan dukungan dan pasar dalam negeri, tapi luar negeri.
“Ini merupakan salah satu strategi menjadikan kita berada di level yang lebih tinggi, yaitu mampu bersaing untuk ekspor listrik energi terbarukan, misalnya PLTS untuk diekspor ke negara lain,” katanya kepada Greeners, Senin (28/2).
Direktur Tropical Renewable Energy Center Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini menilai kepercayaan dunia internasional akan bertambah seiring dengan keaktifan ekspor EBT. Salah satunya berupa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang sangat berpotensi besar.
Indonesia, sambungnya memiliki ketersediaan lahan yang sangat luas yang tak negara lain miliki negara seperti misalnya Singapura. “Selain itu kita juga bisa mendatangkan devisa,” ucapnya.
Ia menyebut, percepatan ekspor PLTS ke negara lain merupakan langkah prioritas sebelum menerapkan di pasar dalam negeri. Persoalannya, transisi di dalam negeri menghadapi berbagai rintangan.
Transisi Energi Terbarukan Butuh Proses Panjang
Saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada energi fosil batu bara. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dari total pembangkit listrik di Indonesia dengan kapasitas sekitar 73.627,6 megawatt, sekitar 50,1 % atau 36.916,4 megawatt masih berbahan bakar batu bara. Sementara total pembangkit yang berbahan fosil mencapai 85 % atau 62.822,3 megawatt.
Mengacu peta jalan transisi energi menuju karbon netral tahun 2060, penghentian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan terlaksana secara bertahap. Yakni mulai tahun 2031-2035. Sebanyak 6 gigawatt bakal PLTU akan pensiun.
Sementara pada tahun 2036-2040 rencananya 3 gigawatt kapasitas PLTU batu bara bakal berhenti. Selanjutnya, tahun 2041-2050 total kapasitas 31 gigawatt berhenti. Terakhir, pada tahun 2051-2060 PLTU batu bara dengan kapasitas 8 gigawatt ditutup.
Penutupan PLTU ini berlangsung bertahap. Selain memakan waktu lama juga membutuhkan komitmen yang kuat. Transisi energi ke pembangkit listrik EBT, sambung Eko juga membutuhkan biaya yang tak sedikit.
Negara-negara maju sebelumnya telah berkomitmen untuk memastikan pendanaan bagi negara berkembang terkait dengan penanganan perubahan iklim dan mitigasi dengan dana sebesar US$ 100 miliar.
“Oleh karenanya bagaimana agar momen G20 ini menjadi ajang Indonesia untuk bisa menggalang bantuan Internasional,” imbuhnya.
BRIN Kebut Riset EBT
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menargetkan adanya kerja sama riset dalam perhelatan G20, termasuk di antaranya dalam sektor EBT. Beberapa pengembangan itu di antaranya riset Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), bioetanol, teknologi fuel cell dan hidrogen.
Mengacu data Kementerian ESDM, potensi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) nasional mencapai 23,9 giga watt (GW). Angka ini menyumbang 40 % potensi PLTP di dunia. Namun hingga saat ini, di Indonesia, potensi yang baru termanfaatkan sebesar 2.276 MW atau sekitar 9,5 %, sebagian besar komponen PLTP pun masih impor.
“Lokasi panas bumi kebanyakan di daerah terpencil yang beban listriknya tidak terlalu tinggi,” ungkap Plh Kepala Balai Besar Teknologi Konversi BRIN Cahyadi.
PLTP termasuk teknologi ramah lingkungan dengan emisi CO2 rendah. Jejak karbon pun rendah. Alasannya karena sumber energi tersedia di lokasi dan tidak membutuhkan sumber bahan bakar yang yang menghasilkan karbon.
Selanjutnya, untuk perencanaan pembangunan PLTN sebenarnya sudah digaungkan sejak tahun 1970an. Kawasan Nuklir Serpong merupakan kawasan pusat litbangyasa iptek nuklir yang dibangun dengan tujuan untuk mendukung usaha pengembangan industri nuklir. Lokasi ini juga sebagai persiapan pembangunan serta pengoperasian PLTN di Indonesia.
Selanjutnya, pada sektor transportasi, pemerintah juga mempersiapkan alternatif bahan bakar ramah lingkungan. Langkahnya berupa penelitian dan pengembangan bioetanol dan hidrogen sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin