Jakarta (Greeners) – Forest Watch Indonesia (FWI) menuntut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil agar patuh terhadap hukum, menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) untuk membuka dokumen Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.
Dalam aksi yang dilakukan di depan gedung Kementerian ATR/BPN, Linda Rosalina, pengkampanye FWI mengatakan bahwa penguasaan lahan berikut isinya diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Oleh karena itu dengan adanya keterbukaan dokumen HGU akan mempermudah publik membantu pemerintah untuk mengindentifikasi lahan-lahan yang layak didistrbusikan kembali kepada kelompok- kelompok masyarakat yang membutuhkan lahan.
“Hal ini sangat sejalan dengan upaya pemerintah yang ingin menyukseskan program Reforma Agraria dan agenda percepatan pembangunan dan sebenarnya, tidak ada yang rugi dengan membuka dokumen HGU”, terang Linda, Jakarta, Senin (19/06).
BACA JUGA: Tata Kelola Industri Kelapa Sawit Belum Terintegrasi
Koordinator aksi, Anggi Putra Prayoga dalam orasinya menyampaikan, sudah hampir dua tahun perjuangan membuka informasi HGU perkebunan kelapa sawit dilakukan oleh FWI kepada Kementerian ATR/BPN. Pada Maret 2017, Mahkamah Agung (MA) memenangkan tuntutan FWI sehingga dokumen HGU harus terbuka.
“Putusan Mahkamah Agung sudah final dan berkekuatan hukum tetap. Artinya, Menteri ATR/BPN wajib membuka dokumen HGU yang dimaksud. Sayangnya sudah tiga bulan sejak putusan MA, belum ada iktikad baik untuk membicarakan mekanisme pemberian dokumen tersebut,” katanya.
BACA JUGA: Judicial Review: KLHK Tegaskan Pentingnya Komitmen Keadilan Untuk Lingkungan Hidup
Sebagai informasi, berdasarkan data BPN-RI (2010), 56% aset nasional dikuasai hanya oleh 0,2% penduduk Indonesia, dimana sebesar 62-87% dalam bentuk tanah. Sejalan dengan hal itu, menurut Transformasi untuk Keadilan (2015), sebanyak 25 kelompok perusahaan kelapa sawit yang dimiliki para taipan menguasai 31% lahan atau 5,1 juta hektare dari total area penanaman kelapa sawit di Indonesia. Ini berarti masih terdapat ketimpangan dalam hal penguasaan lahan.
“Adanya ketimpangan agraria secara struktural menjadi faktor yang mendorong tingginya kesenjangan tingkat kesejahteraan, juga mengakibatkan konflik agraria bermunculan. Ditambah adanya permasalahan tumpang tindih perizinan lahan semakin memperbesar konflik agraria,” tambah Anggi.
Sementara itu, Roli Irawan, Direktur Pengaturan dan Penetapan Hak Tanah Kementerian ATR/BPN, menyampaikan bahwa saat ini hasil putusan dari MA tersebut sedang dalam pembahasan di internal ATR/BPN.
Roli mengungkapkan bahwa untuk menyelesaikan petunjuk teknis terkait mekanisme pengambilan dokumen dan pelayanan informasi publik di lingkup ATR/BPN, masih perlu melalui pembahasan di sembilan eselon satu. “Kami berjanji pasti akan mematuhi putusan MA,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih