Jakarta (Greeners) – Beberapa waktu lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar menyampaikan bahwa sedikitnya, ada sepuluh perusahaan yang diduga melakukan pembakaran lahan dan hutan di Riau dan Kalimantan.
Pembakaran hutan yang terjadi setiap tahun ini juga diakui oleh lembaga sertifikasi kayu Forest Stewardship Council (FSC) sebagai satu peristiwa yang memang marak terjadi dalam bisnis yang berorientasi pada hasil hutan. Hartono Prabowo, Representatif FSC untuk Indonesia kepada Greeners menyatakan bahwa praktek-praktek pembakaran hutan dan lahan dilakukan untuk membuka dan membersihkan lahan sebelum dilakukannya penanaman oleh perusahaan.
Proses yang dianggap lebih murah dan efisien ini akhirnya terus dilakukan dari tahun ke tahun hingga menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi alam, termasuk memberikan pengaruh pada perubahan iklim dan kesehatan akibat kabut asap yang ditimbulkan. Apalagi, untuk melakukan praktek pembukaan lahan tanpa bakar dianggap lebih menguras biaya karena membutuhkan anggaran yang tidak sedikit untuk investasi infrastruktur dan pemeliharaannya.
“Jadi, ya, pembakaran hutan itu memang dilakukan demi mencari jalan gampang karena lebih mudah dan murah,” tuturnya saat ditemui oleh Greeners, Jakarta, Jumat (18/09) lalu.
Padahal, menurutnya, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk membuka lahan selain dengan melakukan pembakaran. Seperti misalnya melalui teknik-teknik fisik dengan membuka lahan sedikit demi sedikit karena pembukaan lahan tersebut tidak harus dilakukan secara penuh dalam satu kali waktu. Cukup membuka lahan seperlunya untuk melakukan penanaman dan membuka lahan lagi pada waktu tertentu jika dibutuhkan. “Jadi bertahap, tidak harus dilakukan sekaligus,” imbuhnya.
Terkait adanya keterlibatan perusahaan yang bersertifikat FSC pada kasus pembakaran hutan dan lahan di Riau dan Kalimantan, Hartono mengklaim bahwa hingga saat ini masih belum ada laporan yang menyatakan adanya keterlibatan perusahaan bersertifikasi FSC dalam kasus pembakaran hutan.
“Kalau untuk kebakaran hutan kami belum terima laporannya. Tapi, kalau untuk konflik dengan masyarakat adat itu memang ada. Salah satunya itu PT Musi Hutan Persada yang hingga saat ini masih berkonflik dengan masyarakat adat,” ujarnya.
Sebagai informasi, FSC sendiri adalah Lembaga Akreditasi Internasional non-profit yang pertama kali mengembangkan sertifikasi Sustainable Forest Management (SFM) dan sertifikasi Chain of Custody (COC).
Sampai dengan saat ini, lebih dari 18 juta hektare areal hutan di berbagai belahan penjuru dunia telah disertifikasi oleh lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi oleh FSC melalui standar dan proses sertifikasi yang cukup ketat dan mendapat pengakuan dari berbagai stakeholder di tingkat internasional. Untuk Indonesia, FSC telah mensertifikasi lahan hutan seluas 2 juta hektare dengan rincian 1.900.000 hektare hutan alam sebagian besar di Kalimantan, sisanya di Papua dan Sumatera.
“Sedangkan hutan yang ada izinnya itu ada 31 juta hektar. Jadi, masih sangat sedikit yang sudah tersertifikasi,” pungkasnya.
Seperti diketahui, kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau pada umumnya terjadi di lahan gambut yang dilakukan dengan cara membakar untuk perkebunan maupun Hutan Tanam Industri (HTI). Menurut catatan yang dipublikasikan oleh The Center for International Forestry Research (CIFOR), eksploitasi sumberdaya hutan secara besar-besaran pada dua dekade terakhir di Provinsi Riau telah mengubah tata guna lahan dari kawasan hutan utuh menjadi kawasan perkebunan dan transmigrasi.
Penulis: Danny Kosasih