Berbagai pesta telah digelar, miliaran rupiah telah dihabiskan, ribuan bahkan ratusan juta pohon telah ditanam, demi sebuah harapan untuk lingkungan hidup yang lebih baik. Akankah harapan itu terwujud? Apakah pestanya berakhir seiring tahun dan tren berganti?
Oleh : Syaiful Rochman | Artikel ini diterbitkan pada edisi 04 Vol. 4 Tahun 2010
Sejak genderang perang melawan perubahan iklim ditabuh, gayung bersambut dari berbagai kalangan untuk turut serta menjadi pejuang lingkungan. Lahirnya berbagai komunitas ”hijau” menandai dimulainya sebuah era baru. Sebagian dari komunitas ini lahir atas perhatian yang mendalam akan kondisi lingkungan hidup yang semakin menukik tajam, sebagian lagi lahir karena mendeteksi potensi ”bisnis” dari sebuah pertumbuhan tren baru. Tren Go Green.
Terlepas apapun maksud dan latar belakangnya, sebuah gerakan dengan tema lingkungan pastinya mempuyai efek positif bagi masyarakat. Selain menyiratkan harapan, semarak kegiatan “hijau” senantiasa mengingatkan masyarakat untuk selalu ingat dan peduli terhadap lingkungan.
Pada akhir tahun 2008, tepatnya pada 30 Desember, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI meluncurkan sebuah kampanye dengan nama Cita Hijau 2009. Sebuah sinergi kampanye yang diselenggarakan bersama stakeholders lingkungan hidup sepanjang tahun 2009 untuk upaya-upaya perbaikan lingkungan hidup. Salah satu harapan utamanya bertumpu pada Pemilu 2009.
Pemilihan pemerintah dan para wakil rakyat yang baru diharapkan bisa melahirkan kebijakan pembangunan Indonesia yang berwawasan lingkungan dan berpihak pada masyarakat banyak. Kini kabinet baru tengah menjalani seratus hari pertama masa baktinya. Kita hanya bisa berharap perhatian terkait isu lingkungan hidup masuk dalam agenda kerja segenap pejabat baru pemerintah pusat.
2009 sebagai Tahun Perubahan Iklim
Sekjen PBB, Ban Ki-Moon, bersama Presiden AS, Barrack Obama, sepakat untuk mengisi tahun 2009 dengan menekankan pada isu perubahan iklim. Mereka menjadikan tahun 2009 sebagai tahun perubahan iklim. Semangat tersebut tertulis dalam sebuah siaran pers yang dilansir pusat informasi PBB Maret lalu. Akan tetapi, bukan hanya atas kesepakatan kedua tokoh tersebut tahun 2009 ditetapkan sebagai tahun perubahan iklim, melainkan juga dari banyaknya respons masyarakat dalam bermacam bentuk apresiasi terkait isu perubahan iklim.
Tidak hanya dalam kegiatan bertemakan lingkungan, tetapi juga mulai dari seminar gaya hidup hingga festival musik besar di tahun 2009 terbuka untuk sosialisasi perubahan iklim. Java Jazz Festival 2009 yang merupakan perhelatan tahunan musik jazz tingkat dunia memberikan ruang bagi sosialisasi perubahan iklim melalui program Zero Waste Event. Penyelenggara berharap melalui edukasi pemilahan sampah yang benar, sampah menuju Tempat Pengumpulan Akhir dari kegiatan bisa dikurangi sehingga berkontribusi terhadap menggunungnya sampah Jakarta.
Pada Februari lalu (21/2) di Surabaya dilaksanakan peresmian Hari Peduli Sampah. Ratusan siswa-siswi SD Santa Theresia Surabaya berderet sepanjang Jalan Sudirman dengan membawa poster Plastic Bag Free Day. Anak-anak ini mengajak warga untuk mulai mengurangi sampah plastik demi masa depan Kota Surabaya yang berkelanjutan dengan bebas sampah plastik.
Bicara soal anak-anak, satu dekade lalu ada bocah cilik yang juga menyuarakan perhatiannya pada lingkungan di depan delegasi PBB. Severn Cullis-Suzuki, yang saat itu berusia 12 tahun, berkata dia hanya anak kecil yang takut memandang lingkungan masa depan yang hancur (Greeners, November 2009).
Di sisi lain, hutan Indonesia yang menjabat sebagai paru-paru dunia pun mendapatkan porsi perhatian. Departemen Kehutanan melalui siaran pers yang dirilis pada 14 Mei 2009 menyebutkan bahwa Pemerintah menargetkan bangsa Indonesia pada 2009 mampu menanam sebanyak 230 juta batang pohon melalui program ONE MAN ONE TREE (OMOT). Dengan perhitungan orang per orang, maka secara individu, secara keluarga, kelompok, RT, RW, desa, kelurahan, kecamatan, wilayah, hingga pemerintah daerah harus diupayakan keterlibatannya dalam melakukan penanaman pohon. Bahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, tersedia fasilitas Ring Back Tone (RBT), di mana setiap pengaktifan RBT tersebut hasilnya akan disumbangkan oleh content provider dalam bentuk 1 (satu) bibit yang akan ditanam melalui Departemen Kehutanan.
Perkembangan bisnis properti pun tidak mau kalah berpesta hijau. Maraknya strategi penjualan properti dengan embel-embel green serta hunian yang ramah lingkungan silih berganti menempati posisi iklan berbagai media baik cetak maupun elektronik. Gelombang ini disambut kritik para ahli properti yang mengharapkan para pengembang jangan hanya menjual Green Property dari indikator banyaknya jumlah tanaman, tapi juga menerapkan pemanfaatan energi terbarukan dan menerapkan pengelolaan sampah yang mandiri sejak awal.
Di level dunia, seiring dengan berakhir masa berlaku Protokol Kyoto pada tahun 2012, kampanye lingkungan hidup kian gencar digelar para aktivis lingkungan. Salah satu yang cukup mengesankan adalah peluncuran film The Age of Stupid. Sebuah film berdurasi 90 menit mengenai dampak perubahan iklim terhadap peradaban manusia. Peluncuran yang secara international dilaksanakan di New York dengan konsep eco-cinema ini diklaim sebagai peluncuran film “terhijau” yang pernah disaksikan oleh masyarakat dunia.
“Kini kabinet baru tengah menjalani 100 hari pertama masa baktinya, kita hanya bisa berharap perhatian terkait isu lingkungan hidup masuk dalam agenda kerja segenap pejabat baru pemerintah pusat.”