Jakarta (Greeners) – Pemerintah berupaya membangun kembali food estate untuk meningkatkan ketahanan pangan. Namun dari aspek lingkungan, food estate yang sebelumnya terbangun menyisakan banyak catatan kritis organisasi penggiat lingkungan. Salah satunya, rusaknya ekologi karena alih fungsi hutan menjadi lokasi tanam skala besar.
Direktur Pangan dan Pertanian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Anang Noegroho mengatakan, dalam pengembangan food estate perlu mencermati daya dukung lingkungan dan jangan sampai mengabaikan keseimbangan ekosistem.
“Di dalam semua kegiatan pengembangan kawasan sentra produksi pangan atau food estate yang perlu kita cermati itu adalah daya dukung lingkungan hidup untuk kegiatan pangan itu. Apakah terlampaui atau tidak, itu yang harus betul-betul kita cermati. Jangan sampai nanti hal-hal yang mengganggu keseimbangan ekosistem atau ketahanan ekologi itu menjadi hal yang terabaikan,” kata Anang dalam webinar Mengulik Logika Food Estate, di Jakarta, Senin (22/11).
Sementara itu, klaim pemerintah terkait keterbatasan pangan perlu peninjauan ulang, apakah Indonesia benar-benar mengalaminya.
Koordinator Nasional Pantau Gambut Lola Abas menilai, klaim krisis pangan dari pemerintah perlu peninjauan kembali. Menurutnya, tidak ada masalah pada stok komoditas pangan Indonesia tahun 2020-2021.
“Sebetulnya krisis pangan yang pemerintah narasikan saat ini perlu kita tilik kembali. Kalau melihat data-data yang ada sebenarnya dalam stok komoditas pangan kita tidak ada masalah di 2020 dan 2021. Bahkan kita masih sempat ekspor di tahun ini. Dan ekspor kita melejit kencang juga di delapan bulan pertama di tahun 2021,” papar Lola.
Mengancam Keberadaan Alam
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra mempertanyakan tawaran solusi food estate dari pemerintah. Padahal empat proyek food estate terdahulu yaitu di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Papua dan Ketapang nyaris mengalami kegagalan. Proyek tersebut menyebabkan jutaan hektare hutan alam hilang.
“Tidak tahu mengapa pasca memasuki Covid, pemerintah menyajikan solusi untuk masalah menghadapi Covid itu dengan food estate. Kita tahu empat proyek food estate sebelumnya itu nyaris mengalami kegagalan, menimbulkan konflik dan kemudian menyebabkan kehilangan jutaan hektare hutan alam,” ungkapnya.
Keberadaan food estate ini lanjutnya, mengancam keberadaan hutan alam seperti di Sumatra Utara ada 42.000 hektare (ha), Jambi sekitar 32.000 ha dan Kalimantan Tengah sekitar 156.000 ha hutan alam yang berada di lokasi yang menjadi target sebagai food estate.
Di Gunung Mas, Kalimantan Tengah saat ini sudah ada hampir 700 ha pembukaan hutan untuk kepentingan food estate. Dari pembukaan ini, yang terjadi adalah penghancuran hutan yang sudah melepaskan sekitar 61.000 karbon.
“Masalahnya di Gunung Mas ini, selain mengancam hutan alam ternyata dari sisi perizinan, bisa kita lihat di laporan Tempo edisi awal Oktober, tidak ada izin yang menyertai keberadaan food estate ini. Hal ini justru dilakukan oleh pihak yang dalam kewenangannya tidak ada urusan pangan. Ini pengrusakan hutan alam kemudian tidak mengikuti prosedur administratif yang ada,” paparnya.
Food Estate Berdampak Buruk bagi Lahan Gambut
Selanjutnya, Lola kembali mengungkap, perubahan lahan gambut menjadi food estate ini juga membawa dampak buruk bagi lingkungan. Pertama, produktivitas tani dan sawah akan terganggu dan menjadi tidak optimal.
“Kalau di atas lahan gambutnya itu sendiri, pertama produktivitas tani dan sawah terutama tidak akan maksimal. Itu sudah ada beberapa kajian dan perbandingan. Lahan gambut itu kurang lebih sepertiga dari lahan sawah mineral yang dipakai untuk lahan pertanian. Jadi produksinya tidak maksimal, effortnya lebih besar dan dampak kerusakan lingkungan prediksinya akan besar juga,” kata Lola.
Dampak lanjutan terhadap lingkungan adalah pencemaran tanah dan sumber air di sekitarnya. Akibatnya akan muncul zat beracun ketika pengolahan lahan gambut berlangsung.
“Kalau pada lahan gambut ada yang namanya sedimen berpirit, ada di bawah tanah gambut. Kalau misalnya terekspos pada saat diolah lahannya lalu bersentuhan dengan oksigen, dia akan menjadi zat beracun yang justru akan mencemari tanahnya dan mencemari sumber-sumber air di sekitarnya,” jelasnya.
Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Adrianus Eryan menegaskan, program food estate ini harus tetap memegang prinsip melindungi lingkungan. Selain itu tidak boleh melanggar peraturan yang bertujuan melindungi lingkungan.
“Bahwa dalam prinsip perlindungan lingkungan ada safeguard yang harus ditaati, ada peraturan-peraturan yang memang tujuannya untuk melindungi dan seharusnya tidak boleh ada pelanggaran,” tandas Adrianus.
Penulis : Fitri Annisa