Food Estate Gagal Penuhi Kebutuhan Pangan dan Merugikan Perempuan

Reading time: 3 menit
Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi simbolik yang menggambarkan kegagalan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate. Foto: Walhi
Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi simbolik yang menggambarkan kegagalan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi simbolik di depan Kementerian Keuangan pada Rabu, 23 Oktober 2024. Aksi ini menggambarkan kegagalan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate. Menurut mereka, proyek itu tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyat dan mengakibatkan banyak pengorbanan dan penderitaan, terutama bagi sekelompok perempuan.

Juru Kampanye Polusi dan Keadilan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Abdul Ghofar, mengatakan bahwa food estate merupakan warisan buruk pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Proyek ini terbukti merugikan petani dan masyarakat kecil, terutama perempuan yang berperan penting dalam perawatan lingkungan.

“Masyarakat, khususnya perempuan yang mempertahankan ruang hidupnya, terus berhadapan dengan aksi-aksi militerisme. Namun, proyek ini tetap berlanjut dalam pemerintahan Prabowo-Gibran,” kata Ghofar dalam keterangan tertulisnya.

Di beberapa wilayah seperti Sumatra, Kalimantan, dan Papua, pemaksaan proyek ini mengakibatkan penggusuran paksa, kriminalisasi petani, perusakan lingkungan, dan perampasan lahan. Peristiwa tersebut berujung pada hilangnya mata pencaharian banyak perempuan.

Data dari Walhi mencatat sebanyak 15.000 hektare lahan produktif di Sumatra dan 10.000 hektare di Papua telah dialihfungsikan secara paksa untuk proyek food estate sejak tahun 2022. Akibatnya, lebih dari 3.000 keluarga petani kehilangan akses terhadap lahan mereka.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi simbolik yang menggambarkan kegagalan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate. Foto: Walhi

Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi simbolik yang menggambarkan kegagalan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate. Foto: Walhi

Perempuan Hadapi Banyak Tantangan

Ghofar menambahkan bahwa perempuan pedesaan, yang merupakan tulang punggung produksi pangan di banyak wilayah, menghadapi tantangan besar akibat proyek food estate. Mereka tidak hanya kehilangan akses terhadap tanah, melainkan juga harus menghadapi dampak sosial dan ekonomi yang berat.

Data dari Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan bahwa perempuan di sektor pertanian dapat meningkatkan produksi pangan hingga 30%. Hal ini akan terjadi jika mereka mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya produktif seperti tanah, air, dan modal. Sayangnya, proyek pembangunan seperti food estate semakin membatasi akses ini, sehingga meminggirkan peran perempuan dalam sistem pangan lokal.

Di sisi lain, krisis ekonomi dan krisis iklim telah memperburuk kondisi masyarakat pedesaan. Data dari BPS (2024) menunjukkan pendapatan perempuan pedesaan terus menurun sejak pandemi. Persentase pekerja perempuan yang aktif menurun dari 21,45% menjadi 17,44%. Sementara itu, inflasi harga pangan yang tinggi semakin memperburuk kesulitan yang mereka hadapi.

“Situasi struktural ini telah menciptakan kemiskinan yang berujung pada feminisasi migrasi kerja yang eksploitatif,” ungkap Ghofar.

Food Estate Tingkatkan Ketergantungan Impor Pangan

Proyek food estate tidak hanya menyebabkan hilangnya lahan pertanian produktif, tetapi juga memperburuk ketergantungan Indonesia pada impor pangan. Menurut data dari BPS (2024), ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan terus meningkat. Lebih dari 30% kebutuhan pangan nasional masih dipenuhi dari luar negeri. Kebijakan ini semakin melemahkan potensi pangan lokal yang seharusnya menjadi prioritas dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.

Kendati demikian, Solidaritas Perempuan, Aksi!, WALHI, KruHa, dan SBMI menyerukan agar pemerintah segera menghentikan pemaksaan proyek food estate serta kebijakan pembangunan yang merugikan perempuan produsen pangan.

Dalam tuntutannya kepada pemerintah, koalisi ini meminta beberapa hal. Di antaranya penghentian proyek food estate, pengalihan anggaran proyek tersebut, penghormatan terhadap hak-hak perempuan produsen pangan, dan penegakan hak atas tanah. Selain itu, koalisi juga meminta pengakhiran perampasan lahan, dan pencabutan semua kebijakan yang mendukung proyek food estate sebagai solusi palsu.

Ghofar menegaskan bahwa krisis pangan di Indonesia tidak bisa terselesaikan dengan proyek yang hanya menguntungkan segelintir elit dan investor. Menurutnya, pemerintah harus memprioritaskan keadilan gender dan keberlanjutan ekologi.

“Pemerintah perlu memastikan bahwa perempuan—yang merupakan penjaga utama sistem pangan lokal—memiliki akses penuh terhadap sumber daya yang mereka butuhkan. Hal ini untuk mempertahankan kedaulatan pangan,” ujarnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top