Zat ini sangat ajaib, layaknya superhero yang bisa berubah menjadi substansi lain. Namun, ia dalam sekejap bisa menjadi alien yang menguasai setiap ruang hidup manusia dengan daya imitasi yang mengagumkan. Cantik, tetapi berbahaya.
oleh: Baihaqi | Artikel ini diterbitkan pada edisi 01 Vol. 4 Tahun 2010
Sesuai dengan akar namanya, dari bahasa latin: plasticus, yang berarti mudah dibentuk. Plastik adalah pengembaraan transformasi tak berbatas hingga menjadikannya sebagai material yang paling banyak digunakan. Kita bisa menemukan bentukannya di sekitar kita. Plastik telah mengisi sebagian besar ruang hidup manusia. Seperti yang ditulis Roland Barthes, “Seluruh dunia dapat diplastikkan, bahkan hidup itu sendiri.” Kita bisa melihatnya pada pencangkokan jantung plastik atau di genggaman tangan sehari-hari.
Seperti alat-alat dari batu yang menjadi penanda sebuah zaman, begitu pula plastik yang telah menjadi penanda zaman sekarang. Zaman di mana kepraktisan menjadi dewa baru. Manusia zaman plastik bahkan terlupa dengan konsekuensi lanjutan kemaniakan tersebut. Tak ada yang bermasalah bagi mereka dengan imitasi, pun tak ada yang bermasalah dengan tanggung jawab antar-generasi.
Sejarah megah plastik dimulai saat ilmuwan bernama Alexander Parkes menemukan senyawa dengan karakteristik mirip karet: transparan dan mudah dibentuk. Temuannya ini dinamakan parkesine yang diperkenalkan pada 1862 dalam sebuah ekshibisi internasional di London, Inggris. Namun, dalam perkembangannya terbentur masalah biaya yang tinggi sehingga plastik yang dibuat dari bahan organik dan selulosa ini tidak bisa diproduksi massal. Akan tetapi, penemuan parkesine memicu para para peneliti untuk menemukan alternatif yang lebih praktis dan murah.
Dipicu hasrat besar untuk membuat plastik yang multiguna, para ilmuwan terpacu untuk mengembangkan penemuan awal Parkes. Salah satu yang terkenal yaitu, seorang Amerika bernama John Wesley Hyatt pada 1869. Dia mengembangkan plastik dari seluloid yang dibentuk menjadi bola biliar. Walau masih sangat rapuh, penemuan ini menjadi penyelamat bagi banyak gajah karena sebelumnya bahan baku bola sodok diambil dari gading.
Berbagai penyempurnaan dilakukan hingga dua orang kimiawan pada 1933 melakukan tes dengan beberapa unsur kimia. Dan lahirlah Polyethylene. E.W. Fawcett dan R.O. Gibson tak penah membayangkan temuan mereka ini akan berpengaruh begitu besar terhadap peradaban manusia.
Setelah itu polyethylene berkembang menjadi plastik yang populer. Hingga sekarang jejaknya bisa kita temukan di kemasan plastik. Salah satunya adalah kantong belanja (keresek); produk massal tersukses dari plastik. Dengan ongkos produksi murah dan tidak terlalu berkutat dalam hal kualitas, keresek menjadi barang yang sangat singkat pemakaiannya (disposable) dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam budaya konsumtif.
Kita bisa dengan mudah mendapatkan keresek. Hanya dengan meminta ke pedagang, kita akan mendapatkannya cuma-cuma. Karena itulah, kita akan sangat gampang menimbunnya di tempat sampah.“Ini masalah kebiasaan. Seharusnya kita memakai barang yang memang betul kita butuhkan dan tidak tergantikan oleh hal lain,” ujar Sobirin Supardiyono, seorang pengamat lingkungan dan praktisi zero-waste yang bergiat di DPKLTS Bandung. Sobirin juga menggarisbawahi bahwa sebenarnya ini masalah budaya konsumtif masyarakat yang cenderung menggunakan semua hal yang tersedia tanpa memikirkan akibat lanjutannya. Dia juga menekankan untuk menggali kembali kearifan lokal dalam hal pengemasan.
“keresek menjadi barang yang sangat singkat pemakaiannya (disposable) dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam budaya konsumtif.”