Jakarta (Greeners) – Indonesia memiliki target pemanfaatan energi terbarukan mencapai 23% pada tahun 2025. Sayangnya masih banyak orang yang mempersepsikan bahwa harga energi terbarukan mahal dan hal ini menjadi salah satu penghambat perkembangan dari sektor energi terbarukan di Indonesia.
Salah satu panelis dalam acara Showcase #BersihkanIndonesia, Tiza Mafira selaku associate director Climate Policy Initiative mengatakan bahwa pada sektor energi terbarukan banyak mitos yang perlu dihilangkan. Mitos-mitos ini antara lain energi terbarukan lebih mahal daripada batu bara dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk kebutuhan elektrifikasi untuk masyarakat.
Menurut Tiza, kapasitas PLTU sudah sangat overload di Jawa dan Bali, sehingga keinginan pemerintah untuk membangun elektrifikasi seharusnya dengan memanfaatkan energi terbarukan bukan PLTU.
“Kebutuhan terbesar saat ini untuk listrik berada di pulau terluar seperti di Timur. Seharusnya kebutuhan ini bisa dimanfaatkan untuk mencoba energi terbarukan dan menambah kesempatan, toh selama ini mereka (masyarakat di wilayah Timur Indonesia, Red.) tidak ada pilihan, jadi harusnya di push saja untuk energi terbarukan. Kalau PLN mau membangun PLTU baru untuk apa? Sudah overload di Jawa dan Bali,” ujar Tiza kepada Greeners usai acara, Jakarta, Rabu (20/03/2019).
BACA JUGA: Gerakan Bersihkan Indonesia Ajak Milenial Kritisi Isu Energi Bersih
Mengenai persepsi energi terbarukan mahal, Tiza menyatakan bahwa hal itu hanya mitos karena perkembangan bisnis solar panel di luar negeri terbukti sangat komersil dan kompetitif. “Seharusnya masyarakat yang belum mendapatkan akses listrik diusahakan aksesnya ke energi terbarukan yang terjangkau. Bukan karena energi terbarukan mahal jadi batu bara menjadi solusi,” katanya.
Sementara itu, CEO perusahaan pengembang panel surya, PT Surya Utama Nuansa, Ryan Manafe mengatakan bahwa harga energi terbarukan khususnya surya panel lebih murah satu per sepuluh jika dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu. Ini berarti tidak ada alasan kalau harga menghambat perkembangan energi terbarukan.
“Waktu dulu kita bicara ekonomi, tapi ekonomi sekarang bukan lagi masalah. Saat ini sudah tidak ada masalah yang bisa menghambat perkembangan energi terbarukan, tapi terkadang datang dari regulasi pemerintah yang menghambat dan membatasi kami,” ujar Ryan.
BACA JUGA: Energi Terbarukan Indonesia Masih Jauh dari Target
Diketahui bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara resmi mengeluarkan peraturan terbaru mengenai implementasi pemanfaatan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Pada pasal 14 ayat 2 berbunyi “Dalam hal PLTS Atap dipasang dan dibangun (ongrid) dengan jaringan PT PLN, Konsumen PT PLN dari golongan tarif untuk keperluan industri dikenai biaya kapasitas (capacity charge) dan biaya pembelian energi listrik darurat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
“Saya sangat menghargai upaya dari pemerintah karena setelah bertahun-tahun PLTS tidak ada regulasinya dan akhirnya ada regulasi yang sangat memvalidasi apa yang kita kerjakan. Hanya ada satu yang kurang yakni capacity charge yang mengharuskan industri pabrik yang memakai panel surya harus membayar,” jelas Ryan.
Perusahaan yang dirintis oleh Ryan ini telah mengoperasikan 3 megawatt panel surya di mall BSD, Tangerang Selatan, Banten dan pabrik motor di Cikarang. Jika disetarakan kapasitas tersebut bisa mengelektrifikasi hingga 10.000 rumah. Saat ini, Ryan memiliki rencana membangun kapasitas panel surya kapasitas 7,5 megawatt di Tanjung Jabung Barat, Jambi untuk keperluan industri tanpa bantuan dari pemerintah.
Penulis: Dewi Purningsih