Jakarta (Greeners) – Enam orang utan yang telah menjalani rehabilitasi intensif di Pusat Rehabilitasi Orangutan Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, akhirnya dilepasliarkan kembali ke habitat alaminya. Pelepasliaran ini berlangsung pada Sabtu, 9 November 2024, di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR).
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah, bersama dengan Balai TNBBBR dan Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation, serta mitra terkait melakukan proses pelepasliaran ini.
Keenam orang utan tersebut terdiri dari tiga jantan dan tiga betina, dengan nama Bejo, Blegi, Happy, Jengyos, Meryl, dan Runtu. Usia mereka bervariasi, mulai dari 9 hingga 23 tahun.
Runtu, yang berusia 23 tahun, merupakan individu tertua di antara orang utan lainnya. Mereka dilepasliarkan di kawasan Resort Tumbang Hiran dan Seksi Pengelolaan Wilayah II Kasongan. Kawasan itu merupakan bagian dari TN Bukit Baka Bukit Raya.
Proses rehabilitasi yang panjang telah membekali keenam orang utan ini dengan keterampilan yang penting untuk bertahan hidup di alam liar. Dengan bekal tersebut, mereka kini siap untuk melanjutkan perannya sebagai spesies payung dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan hujan tropis Kalimantan.
BACA JUGA: ProFauna Kampanye Perlindungan Orang Utan di Enam Provinsi
Kepala BKSDA Kalimantan Tengah, Persada Agussetia Sitepu, mengapresiasi ketangguhan orang utan dalam beradaptasi dengan alam liar. Ia juga menekankan betapa pentingnya peran orang utan dalam menjaga keberlanjutan ekosistem.
“Meskipun kami berperan dalam mengembalikan orang utan ke hutan sebagai habitat alaminya, sesungguhnya pahlawan sejati adalah orang utan itu sendiri. Keenam individu yang kami lepasliarkan hari ini adalah simbol kekuatan dan kemampuan luar biasa mereka dalam menghadapi tantangan alam,” kata Persada lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (9/11).
Persada menambahkan bahwa dengan keterampilan yang telah mereka asah selama rehabilitasi, keenam orang utan ini juga membuktikan diri sebagai pahlawan yang berjuang untuk kebebasan mereka sendiri di alam liar.
Lepasliarkan 533 Individu Orang Utan
Sementara itu, BOS Foundation mulai melepasliarkan orang utan dari Pusat Rehabilitasi Nyaru Menteng sejak Februari 2012. Hingga kini, jumlah pelepasliaran telah mencapai 44 kali.
Dari jumlah tersebut, pelepasliaran berlangsung sebanyak 16 kali di Hutan Lindung Bukit Batikap, Kabupaten Murung Raya. Kemudian, sebanyak 28 kali di TN Bukit Baka Bukit Raya, Kabupaten Katingan.
Berdasarkan total keseluruhan, BOS Foundation telah melepasliarkan sebanyak 533 individu orang utan ke hutan alami. Dari jumlah tersebut, 403 individu dilepasliarkan di Kalimantan Tengah, dan 130 individu di Kalimantan Timur. Dengan penambahan pelepasliaran enam orang utan pada 9 November 2024, jumlah keseluruhan menjadi 539 individu.
Ketua Pengurus BOS Foundation, Jamartin Sihite menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan. Mulai dari pemerintah, organisasi konservasi, hingga masyarakat lokal, perlu terlibat dalam menghadapi ancaman terhadap satwa liar.
BACA JUGA: Presiden dan Delegasi KAA Lakukan Pelepasliaran Owa Jawa
“Pada momen Hari Pahlawan ini, menjadi pengingat bagi kami akan kebutuhan mendesak untuk melindungi satwa liar Indonesia yang terancam punah dan menjaga keseimbangan ekosistem yang mendukung keberlanjutan seluruh makhluk hidup,” ujarnya.
Ia percaya bahwa dengan dukungan dari seluruh pihak, upaya konservasi oleh BOS Foundation dapat memberikan manfaat jangka panjang. Hal itu baik untuk satwa maupun untuk manusia.
Senada dengan hal itu, Kepala Balai TNBBBR, Andi Muhammad Kadhafi, menyatakan bahwa pelepasliaran orang utan ini sejalan dengan tujuan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) dalam menjaga dan melindungi satwa yang terancam punah.
Andi menambahkan bahwa langkah ini bukan hanya bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan individu orang utan. Lebih dari itu, pelepasliaran ini juga merupakan bagian dari upaya jangka panjang untuk memperkuat ekosistem hutan yang menjadi habitat alami mereka.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia