Kalimantan Barat (Yayasan Kehati) – Empat individu orangutan (Pongo pygmaeus sp.) yang terdiri atas tiga betina dan satu jantan, dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) di wilayah Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, 21-22 November 2017.
Direktur Program Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) Karmele L. Sanches mengungkapkan pelepasliaran pelepasliaran empat orangutan ini merupakan salah satu bagian dari upaya YIARI, didukung Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan-KEHATI, dalam penyelamatan dan konservasi satwa liar dilindungi, khususnya orangutan di Kalimantan, yang saat ini statusnya Kritis.
“Orangutan di Kalimantan kian terancam habitatnya. Banyak hutan yang dikonversi, dijadikan kebun. Tak sedikit pula orangutan yang diburu dan diperjualbelikan. Oleh karena itu, kami tergerak untuk melakukan penyelamatan. Empat orangutan ini sebelumnya kami rescue dan rawat di pusat rehabilitasi. Saatnya kini kami kembalikan ke habitat liarnya,” ujar Karmele, Selasa (28/11).
BACA JUGA: Orangutan Tapanuli Dipublikasikan di Jurnal Internasional
Keempat orangutan tersebut masing-masing diberi nama Mama Laila (betina, 14 tahun), Lili (anak Mama Laila, betina, 4 tahun), Lisa (betina, 5 tahun), dan Vijay (jantan, 5 tahun). Orangutan ini berasal dari sejumlah lokasi yang berbeda di wilayah Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Dipilihnya TNBBBR sebagai lokasi pelepasliaran, lanjutnya, karena kawasan ini memenuhi syarat sebagai habitat bagi orangutan tersebut, terutama untuk aspek ketersediaan pakan di alam liar, tegakannya, dan tingkat kepadatan populasi orangutan. “Hutan-hutan di Ketapang umumnya sudah rusak,” ujar Karmele.
Pelepasliaran dilaksanakan dalam dua kesempatan berbeda. Pada hari pertama, tanggal 21 November 2017, tim yang terdiri atas 30 orang perwakilan YIARI, TFCA Kalimantan-Yayasan KEHATI, BKSDA Kalbar, TNBBBR, dan Polres Melawi, dan masyarakat sekitar hutan, melepasliarkan Mama Laila dan Lili pada titik sekitar 4 kilometer dari batas TNBBBR dengan Dusun Mengkilau, Desa Nusa Poring, Kecamatan Manukung. Pelepasliaran kedua dilaksanakan keesokan harinya terhadap Vijay dan Lisa pada titik sekitar 12 kilometer dari batas TNBBBR dengan dusun yang sama.
Direktur Program TFCA Kalimantan pada Yayasan KEHATI, Puspa Dewi Liman, menyatakan, “Penyelamatan ini sangat diperlukan karena keberadaan mereka semakin terancam oleh karena perubahan fungsi lahan, perambahan, dan perdagangan satwa liar yang terus terjadi,” kata Puspa.
BACA JUGA: Balitbang KLHK Bangun Pusat Penelitian Orangutan
TFCA Kalimantan merupakan program pengalihan utang dari Pemerintah AS untuk dipakai sebagai dana konservasi hutan di Kalimantan. KEHATI merupakan institusi yang ditunjuk sebagai administrator dari Program TFCA Kalimantan. TFCA Kalimantan mendukung dua program yang sebelumnya sudah berjalan, yakni Heart of Borneo dan Program Karbon Hutan Berau.
“Dukungan kami terhadap YIARI sebenarnya bagian dari upaya menyukseskan program Heart of Borneo melalui perlindungan terhadap spesies-spesies kunci di wilayah hutan Heart of Borneo,” ujar Puspa.
Meski demikian, lanjut dia, ke depan TFCA Kalimantan tidak bisa memberikan dukungan finansial secara terus-menerus. Oleh karena itu, dia berharap agar kegiatan konservasi yang telah dilaksanakan TFCA Kalimantan bersama mitra lokalnya, seperti YIARI, hendaknya diteruskan dan ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah, masyarakat lokal, balai taman nasional, dan pihak pemangku kepentingan lainnya.
Sebagai informasi, saat ini, masih terdapat 109 individu orangutan yang dirawat di pusat penyelamatan dan rehabilitasi orangutan YIARI di Ketapang. Selama tahun 2017, sebanyak 12 individu orangutan yang telah dilepasliarkan oleh YIARI di TNBBR. Pada tahun yang sama, jumlah orangutan yang masuk ke pusat penyelamatan lebih dari 20 individu. Hal ini mengindikasikan, kerusakan hutan sebagai habitat orangutan semakin tinggi.
“Orangutan yang direhab tak serta-merta bisa langsung dilepasliarkan. Harus dirawat, diobati, dan dikembalikan kemampuan dan instingnya untuk hidup di alam liar. Butuh waktu yang lama dan biaya sangat besar,” kata Karmele.
Editor: Renty Hutahaean