LONDON, 13 November 2017 – Emisi karbon dunia diprediksi akan meningkat sekitar dua persen setelah tiga tahun pada kondisi yang stabil. Hal tersebut merupakan kemunduran terhadap upaya memperlambat pemanasan Bumi dan menunjukkan kerapuhan dari perjanjian iklim internasional, Perjanjian Paris, jelas para peneliti.
Dari tahun 2014 hingga 2016, emisi CO2 global dari bahan bakar fosil dan industri tidak mengalami peningkatan yang cukup berarti. Kondisi yang relatif stabil ini, berikut adanya pertumbuhan emisi lebih dari tiga persen tiap tahunnya pada tahun 2000an, memberikan harapan akan negara-negara di dunia telah berhasil memisahkan antara pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan suhu global. Hal ini meningkatkan konsekuensi dari pemanasan yang dipicu oleh kadar gas rumah kaca yang tinggi di atmosfer, dalam reaksi terhadap konsumsi bahan bakar fosil.
Namun, analisa tahunan dari Global Carbon Project (GCP) terkait dengan tren siklus karbon global menekankan bagaimana gentingnya kemerosotan yang terjadi saat ini dalam pertumbuhan emisi global yang sebenarnya. Publikasi tersebut dikeluarkan bersamaan dengan Pertemuan Iklim PBB 2017, COP 23, yang berlangsung di Bonn.
Mereka mengatakan bahwa pertumbuhan emisi global di tahun 2017 terjadi akibat pertumbuhan emisi di Cina dan negara berkembang lainnya, dan penemuan mereka menunjukkan bahwa target Paris bisa tidak tercapai.
GCP merilis tiga makalah untuk jurnal Nature Climate Change (verifikasi), Environmental Research Letters (tren terbaru), and Earth System Science Data Discussions (siklus karbon lengkap).
“Perlambatan pada pertumbuhan emisi dari tahun 2014 hingga 2016 selalu menjadi keseimbangan yang rumit, dan setidaknya dua persen peningkatan pada tahun 2017 dengan jelas menunjukkan bahwa kita tidak bisa menerima perlambatan yang ada,” kata Robbie Andrew, periset senior di CICERO, Centre for International Climate Research, di Oslo, dan salah satu penulis laporan tersebut.
“Meskipun kita memproyeksikan emisi karbon dioksida dari bahan bakar fosil dan industri meningkat dua persen pada tahun 2017, jumlah besar emisi masih tetap ada dan [laju] pertumbuhan antara satu persen dan tiga persen merupakan kemungkinan yang berbeda mengingat kesulitan-kesulitan dalam membuat proyeksi. Komitmen global yang dibuat di Paris pada tahun 2015 untuk mengurangi emisi tidak bisa diimbangi oleh aksi-aksi yang ada,” jelas Glen Peters, direktur penelitian CICERO yang memimpin salah satu studi.
Peters menambahkan bahwa terlalu awal untuk mengklaim bahwa keadaan sudah membaik dan memulai perjalanan menuju nol emisi. Namun GCP, proyek penelitian global yang berada di bawah inisiatif penelitian Future Earth tentang keberlanjutan global, mengatakan bahwa sementara emisi meningkat hingga dua persen pada tahun 2017, tidak mungkin untuk mengatakan apakah ini kembalinya pertumbuhan atau hanya peningkatan satu kali.
Pengaruh Cina
Cina, pengemiter gas rumah kaca terbesar di dunia, mengendalikan pertumbuhan emisi secara tidak terduga pada tahun 2000an dan berada di belakang perlambatan yang kini terjadi. Hal ini merupakan pendorong utama pada tahun 2017.
“Cina menghasilkan hampir 30 persen emisi karbon dioksida global, dan naik-turunnya ekonomi Cina meninggalkan tanda pada pertumbuhan ekonomi global,” jelas Jan Ivar Korsbakken, peneliti senior CICERO dan salah satu penulis.
Emisi Cina turun hingga satu persen pada tahun 2015 dan stabil pada tahun 2016, namun diproyeksikan meningkat antara 0,7 persen dan 5,4 persen pada tahun 2017, dengan perhitungan terbaik menggunakan data awal 3,5 persen pada tahun 2017.
Emisi AS diproyeksikan menurun hingga 0,4 persen tahun ini, lebih lamban dari 1,2 persen rata-rata per tahun pada satu dekade belakangan karena adanya ide kembali menggunakan batubara.
Para ahli GCP mengharapkan emisi India meningkat hingga 2 persen, lebih rendah dari rata-rata enam persen pada satu dekade belakangan, akibat intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi.
Penantian yang lama
Hal ini secara ‘tentatif’ memproyeksikan emisi Eropa akan menurun 0,2 persen pada tahun 2017, lebih lamban dari pada penurunan 2,2 persen rata-rata per tahunnya dibandingkan dekade sebelumnya. Emisi pada negara-negara lainnya, merepresentasikan 40 persen dari total global, akan meningkat hingga 2,3 persen.
Emisi global CO2 dari bahan bakar fosil dan industri akan mencapai hingga 37 miliar ton pada tahun 2017, dan ini menurut analisa menjadi rekor tertinggi. Hasil dari kegiatan manusia (bahan bakar fosil, industri dan perubahan tata guna lahan) akan mencapai hingga 41 miliar ton, sama dengan rekor yang dicapai pada tahun 2015.
“El Niño tahun 2015-2016 menyebabkan kondisi panas dan kering pada daerah tropis yang mengurangi serapan karbon oleh hutan dan berujung pada peningkatan rekor tertinggi untuk konsentrasi karbon dioksida di atmosfer,” jelas Profesor Corinne Le Quéré, direktur Tyndall Centre, Universitas East Anglia, UK, yang menjadi analis utama.
Hal tersebut membutuhkan sedikitnya sepuluh tahun untuk para peneliti percaya diri memverifikasi perubahan pada emisi dengan menggunakan pengukuran konsentrasi atmosferik karbon dioksida.
Profesor Le Quéré mengatakan, “Global Stocktake di bawah Kesepakatan Paris akan terjadi setiap lima tahun sekali dan ini memberikan tekanan luar biasa bagi komunitas peneliti untuk mengembangkan metode dan pengukuran yang dapat memverifikasi perubahan emisi berdasarkan siklus lima tahunan.” – Climate News Network