Jakarta (Greeners) – Dampak penyebaran pagebluk Covid-19 yang kian meluas memperlemah kondisi ketahanan pangan masyarakat. Ketergantungan terhadap bahan impor membuat Indonesia belum mencapai swasembada pangan. Padahal pemerintah dapat memanfaatkan pangan lokal dan tak hanya bergantung pada komoditas beras.
Tokoh Lingkungan Hidup, Profesor Emil Salim mengatakan kecukupan pangan belum bisa dikatakan terpenuhi. Krisis pandemi ini, kata Emil, seharusnya dijadikan momentum untuk membuat kebijakan mengenai sistem pangan berkelanjutan. “Proses pembangunan kita perlu diletakkan pada swasembada pangan. Tidak hanya beras, tetapi ada jagung, ubi, sorgum, sagu, dan sebagainya. Indonesia harus dikembangkan kemampuan diversifikasi pangan yang ditekankan kepada nutrisi,” ucap Emil saat diskusi daring “Membangun Kembali Indonesia Pasca Pandemi”, Selasa, (19/05/2020).
Baca juga: Pelonggaran PSBB Berpotensi Melanggar HAM
Menurutnya, swasembada pangan dapat menjadi tujuan untuk memperkuat ketangguhan masyarakat Indonesia dalam menghadapi wabah. Ia menilai swasembada pangan Indonesia masih jauh dari cukup sehingga pembukaan ratusan hektare lahan untuk mengantisipasi krisis pangan sebaiknya dikelola oleh petani. Menurutnya hal tersebut akan lebih produktif dibanding jika dijalankan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Selain itu visi pembangunan, kata dia, sebaiknya tidak hanya berdasarkan ekonomi, investasi, neraca perdagangan, dan inflasi. Namun harus tertuju pada pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) yang berorientasi pada pendekatan lingkungan dan sosial. “Kebijakan yang mengutamakan investasi ekonomi saja itu sudah keliru. Omnibus Law sudah zaman lampau sebelum tahun 1992. Kita ini sudah masuk ke era sustainable development yang menghendaki visi baru,” ujarnya.
Perubahan Orientasi Pembangunan
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati menyampaikan bahwa akar dari semua krisis yang terjadi saat ini adalah permasalahan sosial dan ekologis. Menurutnya perlu diupayakan perubahan orientasi di dalam pembangunan. Jika melihat di sektor pangan, misalnya, saat ini pemerintah sedang mengusung rencana cetak sawah baru. Padahal banyak sentra produksi pangan di masyarakat yang dapat dimanfaatkan, tetapi selama ini tidak mendapatkan perhatian. Ia menuturkan pemerintah seharusnya mempercepat program reforma agraria dan perhutanan sosial seperti yang sudah dicanangkan Presiden Joko Widodo di pemerintahan periode pertama.
“Berikan akses kepada masyarakat petani dan kelompok komunitas yang tinggal di sekitar hutan untuk mengelola tanahnya (agar) lebih produktif. Ini untuk ketahanan pangan kita sendiri,” ujar Yaya.
Baca juga: Sistem Barter Solusi Atasi Krisis Pangan
Ia mengatakan pemerintah juga perlu mendukung petani maupun rakyat sebagai aktor utama yang mengelola sumber daya alam agar memiliki kemandirian pangan. Selama ini, kata Yaya, rakyat terusir dari wilayah maupun tanahnya sendiri dan kalah oleh pemain besar di sektor pangan.
“Covid-19 ini benar-benar menunjukkan kita bangsa yang rentan. Kita tidak tahu sampai kapan bertahan, seberapa besar kecukupan bahan dasar kita. Hal ini yang harusnya bisa diubah ke depannya,” katanya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani