Jakarta (Greeners) – Elemen masyarakat sipil Aceh menyerahkan position paper kepada Gubernur Aceh Zaini Abdullah untuk mendesak Pemerintah Aceh agar melakukan evaluasi terhadap Instruksi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 05/INSTR/2007 tentang Moratorium Logging (Penghentian Sementara Penebangan Hutan di Nanggroe Aceh Darussalam), yang ditetapkan pada tanggal 6 Juni 2007.
Position paper yang diserahkan oleh Muhammad Nur, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh ini menerangkan tiga alasan mengapa Ingub tentang Moratorium Logging tersebut harus dievaluasi oleh Gubernur Aceh. Nur mengatakan, pertama, sepanjang tahun 2006-2009, laju deforestasi hutan mencapai pada angka 23.124,41 hektare per tahunnya.
“Walhi mencatat, per Maret 2014, terdapat 159 perusahaan yang beroperasi di Aceh. Sebanyak 76 perusahaan tersebut beroperasi di dalam kawasan hutan dan tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), 26 perusahaan tidak memiliki izin usaha produksi (IUP). Sementara 7 perusahaan lainnya yang beroperasi dalam kawasan hutan dan 19 perusahaan beroperasi di luar kawasan hutan masih dalam proses IUP. Bahkan pemerintah ditengarai juga turut andil mendorong kerusakan hutan Aceh dengan mengeluarkan kebijakan membangun 42 ruas jalan yang membelah hutan lindung,” tegasnya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Jumat (19/02).
Selain itu, aktivitas penebangan pohon untuk membuka ruas jalan juga dilakukan oleh perusahaan sebelum mengantongi izin pakai hutan. Menurut catatan Walhi, 60 persen lebih pembangunan jalan ini membelah hutan lindung dan hutan konservasi di 14 kabupaten/kota meliputi Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subulussalam, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Abdya, Aceh Barat, Aceh Utara dan Bener Meriah.
Pada 2013, pemerintah melalui SK Menhut 941/2013 kembali menyetujui 80 ribu hektare hutan Aceh dialihfungsikan menjadi kawasan bukan hutan dari luas 3,5 juta hektare hutan lindung Aceh. Sementara itu, 643 ribu hektare lainnya beralih fungsi untuk pembangunan ruas jalan dan perkebunan, 259 ribu hektare beralih fungsi menjadi area pertambangan, dan 1.741 hektare dirambah penduduk dalam aktivitas illegal logging.
“Dengan demikian, setidaknya kini seluas 983.1751 hektare hutan lindung Aceh sudah beralih fungsi menjadi kawasan bukan hutan,” tambahnya.
Kedua, lanjut Nur, konflik satwa liar dengan manusia terus meningkat. Tahun 2015, terjadi 23 kasus konflik satwa liar dengan manusia di delapan kabupaten di Aceh. Akibat dari konflik satwa liar dengan manusia tidak hanya terjadi kerugian harta benda, rumah, lahan pertanian/perkebunan, dan bahkan berdampak pada hilangnya nyawa manusia dan punahnya satwa dilindungi tersebut.
“Padahal gangguan satwa liar juga menjadi dasar pikir dikeluarkannya moratorium logging. Seharusnya angka konflik satwa dengan manusia juga dapat diminimalisir,” katanya lagi.
Terakhir, bencana alam yang terus meningkat. Terjadinya bencana banjir, longsor, dan abrasi banyak disebabkan oleh degradasi lingkungan di kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS). Secara umum, kawasan resapan air terus berkurang di kawasan hulu DAS diseluruh Aceh.
Seperti tahun 2009 bencana banjir sebanyak 213 kasus, abrasi 72 kasus, dan longsor 56 kasus. Tahun 2010 bencana banjir 250 kasus, abrasi 97 kasus, dan longsor 47 kasus. Tahun 2011 bencana banjir 159 kasus, abrasi 50 kasus, dan longsor 36 kasus. Tahun 2014 bencana banjir 31 kasus, longsor 15 kasus, abrasi 9 kasus, erosi 7 kasus, dan kekeringan sebanyak 20 kasus.
Sedangkan sepanjang tahun 2015, Walhi Aceh mencatat telah terjadi bencana banjir sebanyak 39 kali di 16 kabupaten/kota di Aceh, longsor 14 kali di delapan kabupaten, abrasi 11 kasus di sembilan kabupaten, dan kekeringan satu kasus.
“Terjadi peningkatan bencana banjir di Aceh dilihat dari data dua tahun terakhir, dan diawal tahun 2016 hampir semua kabupaten/kota di Aceh mengalami bencana banjir,” ujar Nur melanjutkan.
Di sisi lain, Gubernur Aceh Zaini Abdullah berjanji akan berkomitmen untuk mempertahankan moratorium logging di Aceh dengan mempelajari berbagai kekurangan, hambatan dan tantangan yang dihadapi terkait moratorium tersebut.
Menurut Zaini, hutan merupakan modal utama bagi Aceh untuk bisa terus bertahan di tengah perubahan iklim dan ancaman bencana. Ia juga meminta kepada pihak elemen sipil di Aceh yang peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup, untuk terus memberikan masukan kepada Pemerintah Aceh.
“Kita komitmen untuk mempertahankan moratorum logging di Aceh. Untuk itu elemen sipil juga harus terus memberikan masukan kepada pemerintah,” tukasnya.
Penulis: Danny Kosasih