Jakarta (Greeners) – Ancaman kerusakan lingkungan di Bumi semakin terlihat nyata akibat aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab. Melalui ekofeminisme, kini banyak perempuan yang menunjukkan kemampuannya untuk memulihkan dan melestarikan lingkungan agar Bumi tetap lestari.
Ekofeminisme merupakan sebuah gerakan pembebasan perempuan dan alam. Gerakan ini perempuan tunjukkan sebagai respon mereka terhadap berbagai permasalahan krisis ekologi.
Para ekofeminis di belahan dunia melihat adanya keterkaitan yang erat antara perempuan dan alam. Kehadiran para perempuan merupakan bentuk kepedulian akan keberlanjutan kehidupan manusia di masa yang akan datang.
Gagasan ekofeminisme pertama kali muncul di tahun 1970-an oleh Francoise d’Eaubonne tahun 1974. Lalu diteorisasikan oleh Ynesta King tahun 1977 sebagai pencipta gerakan ini. Konferensi ekofeminisme sendiri baru dilakukan tahun 1980 di Amerika Serikat.
Aktivis Ekofeminisme dan Peneliti Rumah Kitab, Sityi Qoriah mengatakan dalam gerakan ini perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam melestarikan lingkungan. Sebab, perempuan yang paling terdampak jika lingkungan sekitarnya rusak.
“Karena jika alamnya rusak perempuan yang terlebih dahulu terkena dampaknya. Perempuan yang lebih rentan ketika alam rusak. Misalnya air, perempuanlah yang dalam sehari-harinya lebih sering menggunakan air,” kata Sityi dalam Diskusi Series Membangun Gerakan Ekologi Madzab Ath-Thaariq, Sabtu, (5/8).
Perjuangan sekelompok perempuan di Indonesia pun telah menghasilkan kisah sukses. Mereka melakukan perlawanan demi menyelamatkan lingkungan sekitarnya. Kini juga banyak perempuan menerapkan praktik ini dengan melibatkan alam dalam sistem kehidupannya.
Dedikasi Perempuan Dalam Ekofeminisme
Dalam menerapkan ekofeminisme, ada berbagai cara antara lain menciptakan sistem kehidupan yang penuh dengan keselarasan dengan alam untuk mengurangi kehidupan yang modern dan serba praktis.
Pemimpin Pesantren Ath Thaariq, Nissa Wargadipura yang akrab dipanggil Nyai Nissa mengungkapkan, ekofeminisme ini merupakan sebuah inisiasi dengan memanfaatkan alam sekitar untuk menyelamatkan rahim bumi dan menciptakan generasi kuat untuk dekat terhadap alam.
“Praktik dalam gerakan ini yang banyak menghargai alam dan memanfaatkannya untuk sumber kehidupan merupakan hal yang perlu diterapkan oleh setiap generasi,” ucap Nyai Nissa.
Nyai Nissa yang juga aktivis ekofeminisme telah mengembangkan kembali sistem pertanian berbasis ekologi, yaitu sistem buruan Bumi. Buruan Bumi adalah salah satu upaya untuk para santri di pesantren asuhannya untuk memuliakan alam dan makhluk lain yang berada di dalam tanah dan air.
Dalam praktik ini, Nissa sebagai perempuan telah mengajarkan para santri untuk menanam, merawat, memanen tanaman, memasak hingga mengonsumsinya.
Perempuan Mampu Tunjukkan Aksinya
Gerakan ekofeminisme di Indonesia telah banyak berhasil menyelamatkan lingkungan di wilayah tempat tinggal mereka. Misalnya Mama Aleta Baun di Molo Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kisah Mama Aleta Baun merupakan kisah gerakan perempuan di NTT yang menolak eksploitasi gunung demi kepentingan tambang marmer. Selama aksinya, para perempuan mengangkat pakaian mereka dan memperlihatkan payudaranya. Langkah ini mereka lakukan untuk menjauhkan bisnis perusahaan yang mengancam kerusakan lingkungan di wilayahnya.
Selain itu, perjuangan lainnya tercatat pada tahun 2017, beberapa perempuan rela menyemen kakinya dalam aksi protes menolak pembangunan pabrik semen di lahan pertanian mereka yang ada di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah.
“Para perempuan menjadi garda terdepan. Sebab, itu akan menghilangkan sumber mata pencarian warga di sana akan hilang. Misalnya petani akan hilang lahannya, sumber mata air juga akan hilang,” tegas Sityi.
Penulis : Dini Jembar Wardani
Editor : Ari Rikin