Jakarta (Greeners) – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyebut banjir di DKI Jakarta disebabkan oleh faktor sistem drainase. Hasil kajian Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR mencatat 46 titik drainase tidak mampu mengantisipasi kenaikan volume air yang ekstrem. Faktor penyebab lain adalah budaya membuang dan mengelola sampah yang buruk. Kegiatan tersebut setidaknya dapat dilakukan warga secara mandiri untuk mencegah banjir di Jakarta.
Pada banjir 25 Februari 2020 lalu, misalnya, Direktorat Jenderal SDA mengkaji 76 titik lokasi banjir di Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi. Sebanyak 46 titik di antaranya berada di ibu kota. Banjir disebabkan karena faktor sistem drainase di 30 titik (65 persen) dan sistem sungai di 16 titik (35 persen).
Baca juga: Anies Akui Penyebab Banjir Jakarta Bukan Kiriman dari Bogor
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan sistem drainase kota-kota di Indonesia dirancang untuk kapasitas curah hujan 100-150 ml per hari. Namun, seiring terjadinya krisis iklim, hal tersebut berdampak pada curah hujan dan peningkatan intensitasnya. Joga menuturkan seharusnya dilakukan rehabilitasi sistem drainase untuk menampung curah hujan hingga 350-400 ml per hari. Bahkan di Amerika Serikat dan Eropa, kata dia, sistem drainasenya sudah mencapai 500ml per hari.
“Untuk Jakarta saluran drainase harus direhabilitasi dan harus terhubung semua saluran mikro atau lingkungan dari ukuran 0,5 m ke 1,5 m. Meso atau kawasan dari 1 m ke 2,5 m, dan makro atau kota 1,5 m ke 3-5 m. Serta harus dirawat rutin bebas dari sampah, limbah, dan lumpur. Ditata ulang jaringan utilitas terpisah dan terpadu dengan revitalisasi trotoar,”ujar Joga kepada Greeners, Rabu, (04/03/2020).
Joga menyampaikan bahwa sistem Analisis Masalah Dampak Lingkungan (AMDAL) di DKI Jakarta sangat buruk. Pemerintah juga memberlakukan sanksi yang lemah. Ia mencontohkan, daerah kawasan Kemang, Kelapa Gading, dan Pantai Indah Kapuk (PIK) merupakan kawasan daerah resapan air, tapi berdiri perumahan dan bangunan komersial.
“Amdalnya selama ini amdal-amdalan. Kalau amdalnya benar sudah pasti sejak awal tidak boleh dibangun,” ujarnya.
Sementara, Mantan Menteri Lingkungan Hidup era pemerintahan Presiden Soeharto, Prof. Emil Salim mengatakan selama 20 tahun banjir di Jabodetabek meningkat karena krisis iklim yang mulai terjadi di penjuru dunia. Menurut Emil, terdapat korelasi kenaikan suhu bumi dengan banjir yang diakibatkan oleh kenaikan permukaan laut.
“Es di kutub utara mencair, menyebabkan muka air naik, maka sungai yang mengalir ke laut terhambat dan terbanting kembali ke daratan menjadi banjir. Terlepas curah hujan ada masalah struktural, dampak tanah di Pantai Utara Jawa mengalami penurunan muka tanah secara terus menerus, memperburuk keadaan sehingga banjir semakin membahayakan,” ujar Emil.
Baca juga: Adaptasi Banjir Harus Libatkan Masyarakat
Sementara itu, erosi di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat besar. Total erosi di tiga sungai besar, yaitu Sungai Ciliwung, Cisadane dan Bekasi mencapai 83 ribu hektar. Lokasi banjir Jabodetabek berdekatan dengan bagian hilir dari delapan daerah aliran sungai (DAS), yaitu Sungai Angke Pesanggrahan, Krukut, Ciliwung, Sunter, Buaran, Cakung, Bekasi dan Cisadane. Salah satu penyebab banjir dipicu oleh faktor cuaca ekstrem yang terjadi sejak 31 Desember 2019.
Ir. Agung Djuhartono, CES Direktur Bina Operasi dan Pemeliharaan Direktorat Sumber Daya Air Kementerian PUPR, menyampaikan bahwa saat ini masih berlangsung pengendalian banjir Jakarta. Pengendalian salah satunya dilakukan di bagian hulu dengan membangun bendungan Ciawi dan Sukamahi, Kabupaten Bogor. Bendungan Ciawi ini berdaya tampung 6,05 juta meter kubik, sedangkan Sukamahi 1,68 juta meter kubik.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga menyiapkan lahan perkebunan seluas 12.000 hektar. Kawasan tersebut akan dijadikan perhutanan sehingga dapat menjadi lokasi tangkapan air hujan dan mampu mencegah banjir dan longsor.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani