Jakarta (Greeners) – Dinas Kesehatan Wilayah DKI Jakarta memperingatkan masyarakat di wilayah DKI Jakarta untuk waspada terhadap penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Peringatan ini dikeluarkan karena saat ini di beberapa wilayah Indonesia sudah memasuki musim penghujan.
Kepala Dinas Kesehatan Wilayah DKI Jakarta Widyastuti mengatakan bahwa semua daerah di Jakarta merupakan daerah endemis DBD yang berarti sangat potensial untuk pertumbuhan penyakit ini. Hasil pantauan terhadap kelembapan udara dan iklim berdasarkan peta pemodelan BMKG, wilayah yang perlu diwaspadai adalah wilayah Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
“Karena daerah endemis jadi kita semua memang harus waspada. Ada beberapa daerah yang lebih rawan dibandingkan yang lain,” ujar Widy saat dihubungi Greeners melalui telepon, Selasa (21/01/2019).
BACA JUGA: BMKG Akan Merilis Informasi Peringatan Dini DBD Berbasis Iklim Awal Tahun 2019
Menurut data Dinkes, masyarakat yang terkena DBD hingga tanggal 20 Januari 2019 adalah 200 orang yang tersebar di lima wilayah kota DKI Jakarta, yakni Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Pusat.
Widy mengatakan pertambahan jumlah orang yang menderita DBD di Jakarta semakin tinggi karena Jakarta yang merupakan daerah endemis, adanya vektor penular yaitu nyamuk Aedes aegypti, dan adanya virus yang tersebar di sekitar lingkungan rumah misalnya dari orang-orang yang terjangkit DBD sebelumnya. “Jadi ketiga faktor tersebut yang mengakibatkan pertumbuhan angka DBD semakin banyak,” katanya.
Kepala Bidang Perubahan Iklim BMKG Kadarsah mengatakan bahwa peningkatan curah hujan akan meningkatkan kelembaban (Relative Humidity/RH) yang akan mendukung pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti. Hal ini juga akan mendukung seluruh aktivitas nyamuk termasuk memperpanjang umur dan bereproduksi.
“Umur nyamuk yang lebih panjang akan meningkatkan peluang bagi virus dengue untuk menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsiknya. Indonesia, negara tropis dengan suhu udara 16–32 derajat Celcius dan RH 60–80 persen merupakan ruang yang ideal untuk mendukung perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti,” ujar Kadarsah.
BACA JUGA: Kemenkes Keluarkan Surat Rekomendasi, RS Bisa Lanjutkan Kerjasama dengan BPJS
Untuk memantau penyebaran DBD, Dinkes menggunakan Early Warning System (EWS) untuk kejadian penyakit menular potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) termasuk demam berdarah yang berada di 160 Rumah Sakit dan 44 Puskesmas di Jakarta. EWS tersebut secara aktif melaporkan semua kasus demam berdarah.
“Kami juga memiliki sistem yang bekerjasama dengan BMKG namun sifatnya hanya untuk pemodelan prediksi kasus saja, artinya perkiraan kasus DBD yang akan terjadi di Jakarta. Saat ini untuk penanganan DBD kami upayakan dari (pelayanan kesehatan) promotif, prefentif, dan kuratif,” kata Widy.
Upaya promotif ini meliputi penyediaan informasi kepada masyarakat melalui media, sementara upaya prefentif melalui pengendalian vektor karena penyebab DBD adalah virus yang ditularkan melalui gigitan Aedes aegypti betina. Pengendalian nyamuk ini dilakukan dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Terakhir, upaya kuratif yakni mengobati DBD yang ditekankan pada peningkatan kadar trombosit dan daya tahan tubuh.
Penulis: Dewi Purningsih