Jakarta (Greeners) – Banyak negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menjadi korban perdagangan sampah plastik ilegal secara-terus menerus. Dalam proses negosiasi perjanjian plastik di Intergovernmental Negotiating Committee (INC) keempat di Ottawa, Kanada, negara-negara maju diminta untuk berhenti ekspor sampah plastik ke negara berkembang.
Organisasi masyarakat sipil terus mendesak negara maju karena sampah impor telah menimbulkan kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang. Kawasan ASEAN sampai saat ini masih menjadi tempat pembuangan sampah yang tidak dapat didaur ulang.
Koordinator River Warrior Indonesia, Aeshnina Azzahra meminta negara maju untuk berhenti mengirim sampah plastik ke negara berkembang. Menurutnya, ekspor sampah ini bagaikan bencana bagi negara di ASEAN.
“Sudah cukup melihat kerusakan lingkungan akibat sampah plastik impor di Indonesia. Saya ingin Indonesia bebas dari sampah plastik impor. Di INC-4 Ottawa, Kanada, saya ingin menyampaikan uneg-uneg saya pada delegasi negara-negara maju pengekspor sampah untuk berhenti kirim sampah plastik ke Indonesia, cukup sudah!” kata Nina di Ottawa, Kanada.
BACA JUGA: Solusi Atasi Sampah Plastik Global Jangan Palsu
Dalam pawai untuk mengakhiri era plastik di Kanada, Nina menggendong tumpukan sampah impor setinggi lima meter. Ia pun berorasi dan menyatakan keresahannya soal keberadaan sampah impor di Indonesia.
“Sampah yang saya gendong ini adalah sampah-sampah plastik impor dari negara maju, yang mereka buang ke desa-desa dekat pabrik kertas daur ulang. Pertama, sampah ini menjadi beban lingkungan dan ancaman kesehatan. Kemudian, saya ingin menunjukkan bahwa pencemaran sampah plastik membebani generasi saat ini,” ujar Nina.
Nina bersama ratusan aktivis lingkungan dari seluruh dunia pun turut hadir di INC-4. Mereka merasakan kegelisahan yang serupa selama bertahun-tahun, yakni soal polusi plastik. Menurut mereka, plastik telah mendatangkan malapetaka pada komunitas dan lingkungan global, yang pemicunya adalah kepentingan perusahaan bahan bakar fosil.
Akhiri Ekspor Sampah
Di samping itu, Nina mengatakan ekspor sampah plastik dari negara maju ke negara ASEAN harus berhenti. Sebab, hal itu akan menimbulkan kerusakan lingkungan dalam jangka panjang.
“Jika produksi plastik dan ekspor sampah ke negara-negara berkembang terus berlanjut, Anda akan menciptakan bencana jangka panjang bagi lingkungan saya. Lebih buruk lagi, orang tua saya mengatakan bahwa bahan kimia berbahaya dalam plastik mengancam kesehatan dan hormon saya,” ujar Nina.
Menurut Nina, anak-anak dan remaja adalah pihak yang paling terdampak dan rentan. Ketika orang dewasa datang ke Ottawa untuk merundingkan kesepakatan plastik, hak anak-anak untuk hidup di lingkungan yang sehat dan aman harus terlindungi.
ASEAN Penting Menerapkan Solusi Kreatif
Sementara itu, koalisi organisasi masyarakat sipil juga menyoroti bagaimana ASEAN dapat membuka jalan bagi perjanjian yang efektif. Hal ini mempertimbangkan banyaknya solusi yang dipimpin oleh masyarakat di Asia Tenggara dan upaya pemerintah di seluruh kawasan, untuk menerapkan kebijakan demi menekan polusi plastik.
“ASEAN sangat penting dalam menerapkan solusi kreatif dan praktis untuk memerangi pencemaran plastik. Namun, sudah terlalu lama kawasan ini mengalami kelebihan pasokan kemasan plastik yang bermasalah, sekali pakai, dan tidak perlu, yang seringkali mengandung bahan kimia beracun yang tidak teregulasi,” kata Senior Campaigner and Southeast Asia Plastic Project Manager of Yhe Environmental Justice Foundation, Salisa Traipipitsiriwat.
BACA JUGA: Bank Sampah Tekan Impor Sampah Plastik dan Kertas
Di sisi lain, Salisa menambahkan bahwa perjanjian plastik global mewakili peluang unik bagi para pemimpin ASEAN. Khususnya, untuk menunjukkan kemampuan, komitmen, dan kesiapan mereka dalam mengatasi pencemaran plastik.
“INC keempat dan kelima adalah saat yang penting bagi para pemimpin ASEAN—para pemimpin kita—untuk menuntut perjanjian yang kuat dan ambisius yang menempatkan manusia dan planet bumi sebagai prioritas utama,” ungkapnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia