Jakarta (Greeners) – Penggundulan hutan dan deforestasi mangrove masih menjadi permasalahan di Indonesia. Maraknya deforestasi menyebabkan hilangnya penyerap karbon yang memicu peningkatan emisi gas rumah kaca. Semua elemen masyarakat harus mendukung restorasi mangrove.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus pakar kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Bambang Hero Saharjo mengatakan, restorasi dan pemanfaatan mangrove dilakukan agar masyarakat merasa memiliki dan menjaga keberlanjutannya.
Mangrove adalah habitat beragam jenis biota dan punya potensi besar, khususnya dalam sektor perikanan. Selain itu, pengembangan ekowisata dapat masyarakat sekitar optimalkan dari ekosistem ini. “Sehingga nantinya kegiatan penyelamatan dan pemulihan mangrove tak hanya bergantung pada BRGM, tapi tanggung jawab kita semua,” katanya di Jakarta, Sabtu (9/4).
Mangrove punya fungsi utama yang mampu menyimpan hingga tiga miliar karbon. Pemerintah Indonesia pun membuat langkah strategis dengan membentuk Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
BRGM menargetkan pemulihan ekosistem gambut seluas 1,2 juta hektare (ha) di tujuh provinsi prioritas dan rehabilitasi hutan mangrove 600.000 ha pada sembilan provinsi hingga tahun 2024.
Tak hanya itu, Bambang menilai, perlu optimalisasi penegakan hukum dalam memastikan keberlanjutan hutan mangrove. Hal ini menyusul masih banyaknya kawasan mangrove yang berubah fungsi dan rusak. Kerap ada anggapan kehadiran mangrove di beberapa wilayah mengganggu wilayah usaha hingga akhirnya ada oknum yang menebangnya.
“Kerusakan yang dilakukan seperti mendapat pembenaran karena terjadi pembiaran dan upaya penegakan hukum yang lemah,” imbuhnya.
Kerusakan Mangrove Karena Alih Fungsi
Banyak faktor yang menyebabkan kerusakan lahan mangrove seperti alih fungsi menjadi tambak, pemukiman hingga pembukaan kebun sawit. Imbasnya, luasan kawasan yang rusak bertambah luas dan tak terkendali. Permasalahannya seiring parahnya kerusakan maka perlu upaya yang lebih besar dalam pemulihannya, baik waktu maupun dana.
Kepala Kelompok Kerja Sama, Hukum dan Hubungan Masyarakat BRGM Didy Wurjanto menyatakan, rehabilitasi mangrove merupakan wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Sementara BRGM memfasilitasi percepatan rehabilitasi melalui penyediaan anggaran. Selain itu juga penting sosialisasi dan koordinasi ke masyarakat penggarap dan monitoring progres penanaman mangrove.
Saat ini capaian rehabilitasi mangrove mencapai 34.000 ha di 32 provinsi. Luasan tersebut melampaui target rehabilitasi tahun 2021, yaitu 33.000 ha.
Kendati demikian ia menyebut potensi kerusakan mangrove cukup serius. Berdasarkan data KLHK 20 % dari 16,53 juta ha luas mangrove di dunia berada di Indonesia. Selain itu, Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas dengan keanekagaraman jenis tertinggi di dunia.
Adapun untuk kerusakan mangrove imbas deforestasi mencapai 328.647 ha. Sementara, menurut World Bank tahun 2021, rata-rata kerusakan mangrove mencapai 50.000 ha.
Deforestasi Mangrove di Luar Kawasan Hutan
Sementara itu, Kepala BRGM Hartono Prawiraatmadja menyebut, deforestasi mangrove akan tetap terjadi di tanah air, utamanya yang ada di luar kawasan hutan. Deforestasi mangrove yang berada di luar kawasan hutan sulit terbendung karena tetap ada peluang konversi hutan untuk kebutuhan lain.
“Dari mangrove yang ada di APL (area luar kawasan hutan) ini, berdasarkan zonasi memang ada yang tidak akan dipertahankan sebagai ekosistem mangrove. Artinya dikonversi menjadi pemukiman dan tambak. Tetapi ada juga yang dipertahankan sebagai mangrove lindung,” paparnya.
Ia menambahkan, BRGM berkomitmen untuk tetap melakukan reforestasi (penanaman hutan) dan aforestasi (pembentukan hutan). Menurutnya penanaman atau pembangunan hutan mangrove pada area-area terbuka akan menambah tutupan yang cukup besar.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin