Jakarta (Greeners) – Debat putaran keempat calon wakil presiden (cawapres) dinilai belum menyentuh akar permasalahan krisis iklim. Greenpeace Indonesia menyesalkan tidak adanya komitmen yang komprehensif, jelas, dan terukur untuk mengatasi krisis iklim.
Menurut Greenpeace, para cawapres gagal mengidentifikasi penyebab utama krisis iklim. Terutama soal alih fungsi lahan dan sektor energi dengan masifnya penggunaan batu bara.
“Dari debat semalam, kita menyaksikan bahwa ekonomi ekstraktif masih menjadi watak dalam visi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka menggaungkan ekonomi ekstraktif lewat isu nikel dan hilirisasi. Sementara, cawapres 01 Muhaimin Iskandar dan cawapres 03 Mahfud MD juga tak tegas menyatakan komitmen mereka untuk keluar dari pola-pola yang sama,” ucap Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak melalui keterangan tertulisnya, Selasa (22/1).
BACA JUGA: Walhi: Corak Ekonomi Ekstraktif Masih Jadi Pilihan Cawapres
Leonard menambahkan, watak ekonomi ekstraktif pemerintah selama ini telah memicu banyak masalah. Mulai dari ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang melahirkan pelbagai konflik agraria.
“Seperti merampas hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, hingga masyarakat pesisir, merusak hutan, dan lahan gambut. Ekonomi ekstraktif juga mencemari lingkungan dan membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter besar karena ketergantungan pada industri batu bara, sekaligus memperparah krisis iklim,” tambah Leonard.
Cawapres Tidak Bahas Penyelesaian Konflik Agraria
Sementara itu, dalam isu reforma agraria, para cawapres tidak membahas penyelesaian konflik-konflik agraria akibat proyek- proyek strategis nasional (PSN). Misalnya, cawapres 02 dan 03, mereka hanya terbatas membahas rencana sertifikasi dan redistribusi lahan tanpa menyentuh akar masalah.
“Data Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkap ada 42 konflik agraria akibat PSN pada 2023, melonjak eskalasinya daripada tahun sebelumnya. Konflik ini meliputi 516.409 hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 85 ribu keluarga.
Selain itu, ketiga cawapres juga berjanji melindungi masyarakat adat dan wilayah adat. Termasuk dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Namun, hal itu masih menjadi wacana belaka.
“Janji semacam ini selalu tersampaikan dari pemilu ke pemilu, tetapi keengganan politik dari presiden terpilih dan partai politik pendukungnya selama ini menggambarkan bahwa mengakui dan melindungi masyarakat adat tak lebih dari sekadar retorika. Tanpa mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan menghentikan PSN yang merampas wilayah masyarakat adat, janji itu cuma akan jadi omong kosong saja,” kata Leonard.
Tak Ada Pembahasan soal Mengakhiri Penggunaan Batu Bara
Pada isu energi, Greenpeace menyatakan tiga cawapres juga tidak menyinggung secara detail rencana percepatan transisi ke energi terbarukan dan mengakhiri penggunaan energi batu bara. Padahal, transisi energi sangat krusial untuk memangkas emisi karbon dan menekan kenaikan suhu bumi. Menurut mereka, demokratisasi energi yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan, dari proses transisi energi juga luput dari pembahasan.
Hal itu senada dengan Direktur Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani. Ia menganggap bahwa hal ini menjadi krusial untuk para pasangan calon (paslon). Mereka perlu menyatakan soal program kerjanya secara jelas. Hal itu agar para pemilih bisa mengatahui lebih jeli rencana para paslon yang akan mewakili masa depan masyarakat Indonesia.
BACA JUGA: Aliansi Sulawesi Tolak Rencana Cawapres tentang Hilirisasi Nikel
“Kata kunci yang paslon sampaikan itu sama seperti yang waktu sesi awal. Namun, gimana caranya itu diterjemahkan menjadi kebutuhan Indonesia? Kemudian, yang paslon sampaikan angkanya diulang dua kali potensi energi terbarukan Indonesia yaitu 3.686 giga watt itu kan potensi. Nah, kebutuhan indonesia itu berapa? Diterjemahkannya bagaimana?” kata Verena.
Di sisi lain, Greenpeace pun menilai, solusi palsu transisi energi banyak diumbar dalam debat cawapres. Misalnya, rencana melanjutkan bioenergi, seperti biodiesel, yang cawapres 02 sampaikan. Menurut Greenpeace, pemenuhan biodiesel berpotensi memicu ekspansi industri sawit melalui deforestasi yang mengancam hutan dan lanskap gambut alami yang tersisa.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia