Jakarta (Greeners) – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai daur ulang sampah plastik di Indonesia belum optimal dan terkendala upaya pemilahan sampah. Belum optimalnya daur ulang ini bisa terlihat dari masih adanya impor hampir 50 % bahan baku sampah plastik untuk kebutuhan tersebut.
Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Teknik BRIN Agus Haryono mengatakan, dari kajian BRIN yang sebelumnya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia akhir tahun 2020 di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) terungkap masih banyak aktivitas masyarakat yang membuang sampah sembarangan salah satunya ke sungai.
“Yang terpotret dari hasil riset kami ketika musim hujan itu jumlah sampah semakin banyak dibanding musim kemarau. Bukan berarti musim hujan orang banyak membuang sampah sembarangan dan musim kemarau enggak,” katanya kepada Greeners di Jakarta, Kamis (11/11).
Dari riset itu lanjutnya, terpotret aktivitas pembuangan sampah sembarangan juga marak terjadi di musim kemarau. Sehingga saat musim hujan sampah yang berada di selokan mengalir dan memenuhi sungai.
“Artinya kesadaran masyarakat masih kurang. Sampah yang masuk ke sungai dari sisi jumlah volumenya sampah plastik mencapai capai 50-70 % dibandingkan sampah yang lain,” ungkapnya.
Meskipun dari sisi berat, sampah plastik itu hanya 25-50 % namun hal ini pertanda, masyarakat belum menyadari arti pentingnya menjaga lingkungan dan tidak membuang sampah plastik sembarangan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2020 menyebut jumlah timbulan sampah hampir 67,8 juta ton. Berbagai sumber mengungkap, daur ulang sampah di Indonesia masih sangat rendah baru mencapai 6-11 %.
Perbaiki Pemilahan Sampah Lokal
Agus menambahkan, potensi daur ulang sampah di Indonesia sesungguhnya bisa optimal jika sumber sampahnya terpilah dengan baik. Namun sayangnya hal itu belum terjadi dan Indonesia masih harus memenuhi bahan baku daur ulang dari impor sampah plastik.
“Sebenarnya sampah plastik yang akan kita daur ulang itu belum mencukupi untuk industri daur ulang padahal source-nya lebih banyak,” imbuh Agus.
Menurutnya, dari total sampah diperkirakan baru 30 % yang terdaur ulang dan 70 % nya tidak tertangani. Sampah ini berpotensi lari ke sungai, laut atau bertahan di alam puluhan hingga ratusan tahun.
“Ini agak kontradiksi keadaannya, di sisi lain industri daur ulang sampah butuh bahan baku, tetapi masyarakat tidak membuang sampahnya untuk didaur ulang. Padahal itu sirkular ekonomi. Tanpa impor pun kita bisa memenuhi kalau sampah plastiknya itu bisa kita olah,” tuturnya.
Selain mendorong perubahan perilaku masyarakat terhadap sampah plastik lanjutnya, produsen juga perlu berkomitmen untuk membuat produk ramah lingkungan.
Agus mengingatkan, masyarakat perlu berhati-hati terhadap klaim kemasan atau kantong plastik ramah lingkungan (biodegradable). Ia menjelaskan, ada beberapa kemasan dengan klaim ramah lingkungan namun menambahkan oxo degradable.
“Sifatnya bukan mendegradasi polimernya tetapi membuat si plastik lebih mudah hancur jadi serpihan-serpihan. Plastik mengandung oxo ini tidak bisa didaur ulang karena sifat mekanisnya turun tidak bersifat biodegradable dan recyclable. Tetapi memang secara tampilan 2 tahun akan hancur di alam,” papar Agus.
Menurutnya, sangat berbahaya jika plastik tersebut hancur dan menuju laut menjadi mikroplastik. Ikan bisa mengkonsumsi mikroplastik itu. Artinya akan masuk ke rantai makanan dan jika ikan telah manusia konsumsi tentu mengancam kesehatan.
“Beberapa riset menyebut ikan yang terkontaminasi oleh mikroplastik semakin besar,” katanya.
Teknologi Daur Ulang Sampah Mumpuni
Dari sisi teknologi daur ulang tambahnya, Indonesia sudah mampu. Bahkan BRIN sudah mengenalkan teknologi daur ulang masker medis dan alat pelindung diri medis yang semuanya mengandung plastik propylene. Jenis plastik ini sangat mudah untuk proses daur ulang. Pascadaur ulang dapat menjadi bijih plastik dan berbagai peralatan rumah tangga lainnya seperti pot bunga, kursi dan lainnya.
“Untuk diseminasi ke masyarakat belum, karena belum ada regulasi dari pemerintah terkait daur ulang masker medis ini,” ujarnya.
Ia memperkirakan, pemerintah pasti akan berhati-hati mengeluarkan regulasi jangan sampai pekerja terkontaminasi saat proses daur ulang.
Terkait sampah plastik kata Agus, ada dua pendekatan yang bisa mengasumsikan plastik ramah lingkungan. Pertama, segera masuk proses daur ulang dan kedua bisa berulang kali pakai sehingga life time-nya panjang.
“Kalau lifetime nya panjang tidak perlu menghasilkan limbah yang besar, seperti kantung belanja ada yang bisa didaur ulang dan terbuat dari propylene dan kuat, pemakaiannya bisa 2-3 tahun,” ucapnya.
Begitu juga kemasan galon, jika peruntukkannya sekali pakai perlu pastikan struktur, komponen dan mekanisme daur ulangnya. Hal yang sama berlaku juga untuk galon isi ulang. Hal ini penting agar tidak merusak lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan.
Selanjutnya, agar daur ulang di Indonesia bergairah, Agus menilai pemerintah bisa memberi insentif bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Selain itu industri daur ulang sampah juga perlu mendapat naungan regulasi agar bisa bersaing dengan industri lainnya.
Penulis : Ari Rikin