Jakarta (Greeners) – Penyebab terjadinya banjir di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada awal tahun diindikasi sebagai salah satu dampak krisis iklim. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut siklus pergerakan cuaca banyak berubah karena adanya perubahan kondisi alam.
“Siklus cuaca ekstrem memendek yang sebelumnya datang 10 tahunan menjadi 5 tahunan bahkan 2 tahunan sekali,” ujar Kepala BMKG Dwikorita saat Peluncuran Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk Menanggulangi Banjir di Kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), di Jakarta Pusat, Jumat (03/01/2020).
Kajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866–2015) mencatat, terdapat kesesuaian antara kejadian banjir di Jakarta dengan intensitas curah hujan ekstrem di awal tahun. Data 43 tahun terakhir untuk wilayah Jabodetabek menunjukkan tren kenaikan intensitas 10 hingga 20 milimeter per 10 tahun.
Baca juga: BIG: Banjir Akibat Implementasi Tata Ruang Tidak Sesuai
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal menuturkan dari analisis statistik ekstrem data series 150 tahun Stasiun Jakarta Observatory BMKG untuk perubahan risiko dan peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir dengan perulangan sebagaimana periode ulang kejadian 2014, 2015, serta 2020, menunjukkan peningkatan 2 sampai 3 persen bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu.
“Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini,” ucap Herizal.
Menurutnya, curah hujan di awal tahun 2020 merupakan salah satu kejadian paling ekstrem. Analisis meteorologis 1 Januari 2020 menunjukkan curah hujan tinggi tidak seperti biasa. Hal tersebut dipengaruhi oleh penguatan aliran muson Asia dan jalur daerah konvergensi massa udara atau pertemuan angin muson intertropis (ITCZ) yang tepat berada di atas wilayah Jawa bagian utara.
“ITCZ memicu pertumbuhan awan yang sangat cepat, tebal, dan masif akibat penguapan dari lautan sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat dan menyuplai kelimpahan massa uap air bagi atmosfer di atasnya,” ujar Herizal.
Sementara itu, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono mengatakan banjir yang terjadi di Jabodetabek disebabkan oleh banyak hal salah satunya krisis iklim. Terutama jika dilihat dari curah hujan pada awal tahun dibandingkan dua dekade sebelumnya.
“Kalau semakin banyak yang sudah mengakui adanya krisis iklim ya bagus. Tapi apa yang akan dilakukan pemerintah selanjutnya? Jangan hanya meminta masyarakat beradaptasi, tapi siapa yang akan ganti kerugian akibat bencana iklim?,” ucap Yuyun.
Baca juga: Mahasiswa Vietnam Kembangkan Sistem Peringatan Banjir Bertenaga Surya
Yuyun menuturkan, pemerintah harus segera mengimplementasikan pembangunan ekonomi rendah karbon sebagai upaya mitigasi krisis iklim. Caranya dengan meninggalkan batu bara yang digunakan sebagai sumber energi primer.
Pembangunan ekonomi rendah karbon merupakan kegiatan yang tidak menggunakan sumber energi dengan emisi akhir berupa karbon dioksida (CO2). Strategi ini dicoba dalam menggalakkan energi terbarukan dan pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan ekonomi rendah karbon tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020-2024. Presiden akan mengesahkan rancangan tersebut pada Januari 2020.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani