German Prieto, asisten profesor geofisika, Departemen Kebumian, Ilmu Atmosfer dan Planet di Massachusetts Institute of Technology dan rekan-rekannya menulis laporan di jurnal Science Advances bahwa mereka mampu mengungkapkan satu bukti yang tidak mungkin bisa salah.
Gelombang yang menghantam perairan mengirimkan getaran-getaran kecil seismik melalui batu dan kecepatannya berubah sesuai dengan kepadatan batu.
Dasar pemikirannya adalah perubahan massa dari es ke batu dapat dijelaskan melalui perubahan kecepatan gelombang tersebut menghantam batu.
“Dengan teknik ini, kami bisa mengawasi perubahan volume bongkahan es pada musim dingin dan musim panas, ” jelas Dr Prieto. “Perubahan itu perlu diperhitungkan terutama dalam menentukan berapa banyak es yang bisa menaikkan muka air laut.”
Gelombang laut mengirimkan signal yang ditangkap oleh sensor secara kontinu. “Mereka bergerak selama 24 jam per hari, tujuh hari seminggu dan mereka mengirimkan sinyal yang sangat kecil, yang biasanya tidak akan kita rasakan. Tapi, sensor seismik yang tepat dapat merasakan gelombang ini di belahan dunia manapun. Bahkan di tengah-tengah benua, kita bisa melihat dampak tersebut,” kata Dr Prieto.
Para ilmuwan merekam data seismik dari jaringan sensor di pantai barat Greenland antara bulan Januari 2012 dan Januari 2014, dan bisa mendeteksi perubahan kecepatan gelombang hingga paling kecil satu persen.
Mereka berhasil merekam pelambatan yang besar pada tahun 2012, dibandingkan dengan tahun 2013, yang cocok dengan data dari satelit yang menunjukkan adanya anomali pencairan es yang besar pada tahun tersebut.
Hal ini membuktikan bahwa ilmu iklim mempunyai cara lain untuk melihat perubahan es yang terjadi.
Sementara itu, Max Berkelhammer, asisten profesor dari Departemen Kebumian dan Ilmu Lingkungan di University of Illinois, beserta rekan-rekannya, juga menuliskan laporan pada jurnal yang sama, bahwa es dapat diakumulasikan di pusat pulau.