Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengindikasikan peningkatan curah hujan di Indonesia (frekuensi maupun intensitas) di Indonesia dalam 40 tahun terakhir mengakibatkan tingginya bencana hidrometeorologi.
“Tren ini mengakibatkan tingginya angka bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, serta kekeringan. Berbagai kejadian ini tak lepas dari akibat perubahan iklim,” kata Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Supari dalam webinar “Darurat Bencana Hidrometeorologi: Komitmen Implementasi Kebijakan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim”, Rabu (8/2).
Hasil kajian menggunakan data pemodelan proyeksi iklim oleh BMKG menunjukkan bahwa di masa depan akan terjadi peningkatan intensitas kebasahan di beberapa daerah. Di lain sisi, durasi dry spell atau jumlah hari kering juga mengalami peningkatan sebesar 2.096 lebih pada periode referensi (1986-2005).
Supari menekankan meskipun intensitas hujan sebagai pemicu bencana mungkin berbeda-beda antar daerah. Tapi potensi bencana dapat dicegah bila kondisi lingkungannya terjaga dengan baik.
Ancaman Bencana Akibat Perubahan Iklim
Peneliti Klimatologi dan Oseanografi BRIN, Intan Suci Nurhati menyampaikan keprihatinannya terhadap keadaan iklim global dengan merujuk kepada Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2022.
“Perubahan iklim yang semakin intens berakibat pada penyerapan karbon di laut dan hutan menjadi kurang maksimal,” ucapnya.
Banyak yang belum menyadari bahwa kondisi laut yang memburuk juga memengaruhi situasi cuaca di darat. Hal ini mengakibatkan bencana hidrometeorologi sering terjadi.
Dalam Laporan IPCC, sambung Intan anomali hidrometeorologi yang terjadi di darat juga dipengaruhi dari fenomena dinamika laut. Salah satunya marine heatwave atau gelombang panas laut yang berimplikasi menghangatnya permukaan air laut. Hal ini menyebabkan rusaknya organisme laut dan ekosistem darat.
Kepala Bidang Komunikasi Kebencanaan BNPB Dodi Yuleova mengungkap, adanya kenaikan korban meninggal dan mengungsi akibat bencana hidrometeorologi tahun 2018-2022. Kerugian karena rusaknya rumah dan fasilitas penduduk mencapai Rp 31,5 triliun.
Tak Boleh Lepas Tangan
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meminta pelaku usaha yang berkontribusi menyumbang emisi CO2 ikut bertanggung jawab. Peningkatan emisi CO2 ini memicu terjadinya krisis iklim penyebab bencana. Pemerintah juga harus berperan penting di dalamnya.
“Pemerintah harus menghentikan proyek pembangunan dan investasi yang katanya sebagai solusi atas krisis iklim. Namun nyatanya semakin memperparah keadaan,” kata Kepala Divisi Perlindungan dan Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional Walhi Uslaini Chaus.
Salah satunya adalah proyek food estate yang memicu deforestasi dan alih fungsi lahan. Namun, berujung gagal tanam dan gagal panen.
Seharusnya, ada keselarasan antara program mitigasi perubahan iklim dan kebijakan pemerintah dalam peningkatan pencapaian Nationally Determined Contribution. Dengan begitu alih fungsi hutan dan mangrove untuk proyek pembangunan strategis tertentu tidak kembali terjadi.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin