Jakarta (Greeners) – Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbulan sampah di Indonesia mencapai 29,8 juta ton tahun 2021. Dari jumlah itu 17,54 persennya merupakan sampah plastik. Pemerintah pun menerbitkan aturan baru cukai plastik.
Ironisnya, sampah plastik bermuara ke laut dan mengancam keberlangsungan kehidupan biota laut hingga kesehatan manusia. Saat ini, sampah plastik Indonesia di laut mencapai 6,8 juta ton per tahun.
Direktur Pengelolaan Sampah KLHK, Novrizal Tahar sebelumnya mengatakan, komitmen pengurangan sampah laut di Indonesia termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 Tentang Penanganan Sampah Laut sebesar 70 % pada tahun 2025. Sedangkan di tahun 2021 Indonesia berhasil mengurangi 28,5% sampah plastik ke laut.
Pemerintah juga membuat kebijakan pengenaan cukai untuk mengurangi sampah plastik di masyarakat. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 pengenaan cukai tak hanya pada plastik, tapi juga Minuman Bergula Dalam Kemasan (MBDK). Adapun target cukai plastik yaitu senilai Rp 980 miliar dan target MBDK yaitu Rp 3,08 triliun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mengusulkan rencana tarif cukai spesifik kantong plastik. Adapun besarannya Rp 30.000 per kilogram, atau Rp 450-500 per lembar kantong plastik. Sebelumnya hanya Rp 200 per lembar.
Orientasi Cukai Plastik
Menanggapi hal itu, Koordinator Nasional Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Rahyang Nusantara menyatakan, ide di balik cukai plastik adalah untuk membatasi produksi. Harapannya bukan hanya berorientasi pada pemasukan.
Akan tetapi, tapi justru mengurangi produksi dan peredaran kantong plastik yang terbukti mencemari lingkungan dan tidak bisa didaur ulang dengan aman dan berkelanjutan.
“Polusi plastik saat ini sudah parah dan tingkat daur ulang juga sangat rendah karena banyaknya plastik sekali pakai yang tidak bernilai. Sehingga dengan adanya cukai ini diharapkan pembatasan produksi terjadi,” katanya kepada Greeners.
Berdasarkan data KLHK, saat ini sudah ada sebanyak 101 pemerintah kabupaten dan kota serta 2 provinsi yang telah memiliki kebijakan pembatasan plastik sekali pakai di daerah.
Rahyang menilai, penerapan kantong plastik berbayar terbukti mengurangi ketergantungan terhadap kantong plastik.
Berlaku Semua Produk Plastik
Namun lanjutnya, perlu memperluas cakupan cukai plastik. Artinya kebijakan ini tidak hanya berlaku hanya pada kantong plastik. Tetapi semua produk berbahan plastik seperti sedotan hingga busa polistirena yang terbukti mencemari lingkungan.
Selain itu, pengenaan cukai juga harus menuju sektor hulu, yakni terhadap virgin plastic pellets-nya. “Sehingga ketergantungan terhadap minyak bumi juga menurun,” imbuhnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyatakan, jika pemerintah akan menerapkan cukai plastik dan MBDK maka pemerintah harus memiliki alternatif lain.
“Alternatif selain mengurangi produk plastik ini seperti apa. Sehingga tidak hanya berhenti pada pengenaan cukai saja,” kata dia.
Hal itu krusial sebagai langkah transisi gaya hidup masyarakat agar tak terlalu bergantung kepada plastik. Ia menyatakan masyarakat merasa mudah dengan penggunaan plastik karena praktis dan murah. “Jika memang ada alternatif maka harus tak memberatkan produsen maupun konsumen,” imbuh dia.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin