Jakarta (Greeners) – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP28 pada minggu pertama di Dubai menghasilkan sebuah kesepakatan pendanaan untuk kerugian akibat krisis iklim (Loss & Damage). Dalam kesepakatan ini, negara maju bisa memberikan porsi pendanaan yang adil untuk operasionalisasi rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat perubahan iklim.
“Kita bisa apresiasi COP28 ini bahwa di hari pertama sudah ada satu kesepakatan yang cukup mengejutkan semua orang, yakni Loss and Damage. Negara-negara maju bisa meletakkan uang di climate fund. Kemudian, negara-negara berkembang memiliki akses untuk mendapatkan pendanaan tersebut,” ujar Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik melaporkan langsung dari Dubai secara daring di Talkshow Berhenti Basa Basi Buat Bumi, Sabtu (8/12).
BACA JUGA: COP28, BMKG Tunjukkan Antisipasi Bencana di Pesisir
Hasil lainnya, perbincangan antara negara di COP28 ini juga membahas soal Global Stocktake. Sejumlah negara mengoreksi target atau komitmen Nationally Determine Contribution (NDC) yang sudah dikirim, kemudian mengevaluasinya kembali.
“Teks yang dibahas soal Global Stocktake adalah phasing out all fossil fuels dan phase down fossil fuels. Perdebatan masih menjadi pembahasan hingga saat ini. Apakah negara-negara ini akan memilih kalimat phasing out all fossil fuels? Atau hanya sekedar hanya untuk upaya menurunkan tahapan penurunan atau phase down fossil fuels,” tambah Iqbal.
Pidato Jokowi Dinilai Tak Ambisius
Sementara itu, Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian menilai pidato Presiden Joko Widodo belum menunjukkan ambisius, khususnya dalam aksi mengatasi krisis iklim.
“Pidato tahun ini nyaris hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Promosi soal solusi palsu perdagangan karbon, transisi energi yang ternyata masih ada pelepasan emisi fosil. Kemudian, juga ada co-firing. Kita lihat apa Presiden Jokowi sampaikan, ini berbeda,” ungkap Uli.
Uli menambahkan, komitmen perubahan iklim ini masih kontradiktif, khususnya dalam komitmen adaptasi dan mitigasi dari perubahan iklim di Indonesia.
Upaya Aksi Iklim Seluruh Negara Harus Lebih Serius
Pengkampanye Polusi dan Urban Walhi, Abdul Ghofar mengatakan komitmen iklim 198 negara-negara dunia yang tertuang dalam dokumen NDC, tidak berjalan sesuai dengan target Perjanjian Paris.
“Hal tersebut berarti menunjukkan kegagalan negara-negara dunia untuk mencapai target menahan kenaikan suhu 1.5 derajat Celcius pada tahun 2030. Kegagalan komitmen negara-negara dunia, termasuk Indonesia harusnya mendorong upaya yang lebih serius. Terutama, dalam aksi iklim masing-masing pihak,” kata Ghofar kepada Greeners, Jumat (8/12).
BACA JUGA: COP28, Norwegia Bayar US$100 Juta untuk Tangani Krisis Iklim Indonesia
Menurut Ghofar, perlu ada komitmen serius. Misalnya, untuk pendanaan iklim, implementasi rencana mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim. Upaya yang selama ini Indonesia dan negara lain lakukan masih perlu peningkatan hingga tiga kali lipat untuk mencapai target.
Selain itu, ketika COP28 usai, pemerintah Indonesia pun perlu melanjutkan program-program yang berkontribusi pada aksi iklim. Misalnya, restorasi gambut dan mangrove, rehabilitasi hutan, hingga dukungan pada perlindungan ekosistem di wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal.
“Transisi energi berkeadilan yang saat ini didorong pemerintah harus dijalankan segera dengan memastikan adanya partisipasi bermakna dari masyarakat,” ujar Ghofar.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia