Jakarta (Greeners) – Hari ini, 1 November 2021 konferensi para pihak terkait iklim (COP-26) mulai berlangsung di Glasgow, Skotlandia. COP-26 menjadi harapan penyelamatan manusia dan bumi dari krisis iklim.
Konferensi tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau COP-26 untuk memerangi pemanasan global dan perubahan iklim ini berlangsung pada 31 Oktober-12 November 2021.
Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia Khalisah Khalid menegaskan, COP-26 ini waktu yang sangat genting untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim.
“Karena ini merupakan ujian bagi kemanusiaan kita. Tapi sayangnya itu jauh panggang dari api,” katanya kepada Greeners, di Jakarta, Senin (1/11).
Ia pun meragukan langkah para pemimpin negara dunia untuk menurunkan emisi. Termasuk pula komitmen kebijakan energi pemerintah Indonesia yang belum sejalan pada komitmen global.
Sementara itu, dalam akun Instagramnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo. Ia menampilkan beberapa foto lengkap beserta keterangan penyerta. Kedatangan Presiden Joko Widodo ini memulai rangkaian kegiatan KTT Perubahan Iklim atau COP-26 Glasgow.
“Dijadwalkan Bapak Presiden akan memberikan national statement pada World Leader Summit 1 November 2021 di The Scottish Event Campus atau malam ini (Waktu Indonesia Barat). Dilanjutkan dengan berbagai pertemuan bilateral dengan para pemimpin dunia,” kata Menteri Siti, langsung dari Glasgow, Senin (1/11).
Sebelumnya, di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Roma, Italia, Minggu (31/10), Presiden sudah menegaskan bahwa penanganan perubahan iklim dan lingkungan hidup hanya bisa terlaksana dengan kerja sama dalam tindakan nyata.
Indonesia Beri Contoh Kendalikan Krisis Iklim di COP-26
Menteri Siti menambahkan, sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki arti strategis dalam menangani perubahan iklim. Indonesia pun telah memberikan kontribusi nyata bagi dunia. Indonesia dapat menekan deforestasi ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir.
“Selain itu, Indonesia juga telah melakukan rehabilitasi 3 juta hektare lahan kritis pada tahun 2010-2019. Indonesia pun menargetkan net sink carbon atau nol karbon di tahun 2060 atau lebih cepat,” ucapnya.
Sementara itu di dalam negeri, komunitas lingkungan bersuara perihal COP-26. Mereka mengkritisi rencana perdagangan karbon yang bukan solusi mengatasi perubahan iklim. Indonesia termasuk salah satu negara yang siap dengan semua infrastruktur kebijakan perdagangan karbon tersebut. Indonesia mendorong pajak karbon dan mengatur perdagangan karbon melalui Peraturan Presiden Tentang Nilai Ekonomi.
“Tentu mekanisme perdagangan karbon ini kita tidak sepakat. Karena ini memberi ruang bagi korporasi atau perusahaan-perusahaan di Indonesia alih-alih menurunkan emisi mereka, mereka akan terjun pada mekanisme perdagangan karbon,” ujar Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yuyun Harmono, di Jakarta, Minggu (31/10).
Yuyun mengatakan, saat ini perusahaan penghasil emisi masih belum serius membahas mekanisme atau konteks di luar pasar. Mereka berdalih bahwa perdagangan karbon ini merupakan solusi yang paling tepat dan murah dalam mengurangi emisi.
Upaya Indonesia Menekan Laju Deforestasi
Indonesia juga berkomitmen dalam menurunkan laju pelepasan karbon melalui upaya menekan deforestasi di Indonesia. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI) Indonesia menurunkan deforestasi sebanyak 1,1 juta hektare (ha) per tahun pada 2009-2013. Kemudian meningkat menjadi 1,47 juta ha per tahun pada 2013- 2017.
Direktur Eksekutif FWI Mufti Barri menyebut, klaim keberhasilan menurunkan angka deforestasi menjadi tidak relevan jika deforestasi secara besar malah terjadi hanya di beberapa lokasi.
“Sementara di tempat lain, deforestasi menurun bukan karena upaya yang dilakukan pemerintah, melainkan karena sumber daya hutannya yang sudah habis,” katanya.
Di samping itu, sepanjang tahun 2021 kebakaran hutan dan lahan di Indonesia masih terjadi seluas 229.000 ha. Sedangkan di tahun 2019 luas hutan dan lahan yang terbakar mencapai 1,6 juta ha. Dimana 1,3 juta ha atau sekitar 82% terjadi di Pulau Sumatra dan Kalimantan.
Mufti menegaskan, Indonesia perlu berbenah diri dalam mekanisme pengelolaan hutan bahkan bila perlu melakukan reformasi pengelolaan hutan agar kondisi hutan menjadi lebih baik. Hal ini menjadi catatan kritis Indonesia di COP-26.
“Indonesia harus banyak belajar dari pengelolaan hutan dan lahan yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini, bagaimana kita mengelola lahan gambut, bagaimana kita mengelola hutan. Banyak bukti yang sudah sangat membuktikan kita telah gagal. Sehingga harus ada reformasi pengelolaan hutan ke depannya,” papar Mufti.
Perdagangan Karbon Ancam Masyarakat Adat
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi juga berpandangan kritis agar Indonesia membawa pesan penting di COP-26 terkait masyarakat adat. Menurutnya, perdagangan karbon akan mengancam masyarakat adat.
Perdagangan karbon ini akan melahirkan ketidakadilan, khususnya bagi masyarakat adat dan wilayah adat karena berpotensial menjadi tunggangan baru para perampas wilayah adat.
“Negara-negara dan komunitas global seharusnya tidak lagi berkutat pada mekanisme pasar. Mereka harus serius membicarakan mendukung berbagai inisiatif dan praktek masyarakat adat dalam menjaga, melindungi dan mengelola wilayah adat dan sumber daya yang telah berkontribusi langsung pada penurunan emisi dan peningkatan stok karbon,” tegas Rukka.
Terkait skema perdagangan karbon, Khalisa yang juga memiliki catatan kritis untuk COP-26 menegaskan, skema perdagangan karbon merupakan praktek greenwashing. Hal ini menjadi strategi pemasaran perusahaan supaya terlihat baik dan ramah lingkungan.
“Setiap perusahaan yang mengumumkan dana untuk melindungi hutan melalui skema carbon offset hanya melakukan greenwashing jika mereka tidak berkomitmen secara sungguh-sungguh untuk menurunkan emisi mereka,” tandas Khalisah.
Penulis : Fitri Annisa