Jakarta (Greeners) – Konferensi tingkat tinggi perubahan iklim (COP-26) telah berakhir. Namun banyak pihak kecewa atas pertemuan itu yang tidak memperkuat upaya menekan laju perubahan iklim.
Pakar Lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa mengungkapkan rasa kecewanya terhadap hasil COP-26. Ekspektasi dan harapan yang tinggi terhadap hasil konferensi krisis iklim pupus. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
“Dari COP-26 ini tidak ada hal yang luar biasa. Jadi masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah (PR). COP-26 ini mengecewakan. Harapannya ini menjadi titik balik yang luar biasa, banyak ekspektasi yang luar biasa. Seharusnya sudah selesai dengan COP-26 ini urusan mitigasi, tapi ternyata tidak. Kita masih banyak PR agar 1,5 derajat Celcius dapat terpenuhi melalui COP-26 ini,” katanya kepada Greeners, di Jakarta, Selasa (16/11).
Mahawan juga menyebut hasil dari COP-26 ini masih belum cukup memperkuat upaya menekan laju perubahan iklim. Menurutnya, masih ada komitmen yang sedikit lagi rampung namun masih belum terselesaikan dalam COP-26 tersebut.
“Jelas masih belum cukup ya. Kalau dijumlah komitmennya, yang paling optimis skenarionya dengan agenda net zero emission 2050,” ucapnya.
Lebih lanjut, Mahawan berharap, di COP berikutnya akan ada bahasan dan komitmen terkait adaptasi, pendanaan dari negara maju ke negara berkembang.
“Adaptasi harus konkret, baik, khususnya pendanaan dari negara maju ke negara berkembang. Kemudian persoalan implementasi, rembuknya kan sudah selesai, tinggal operasionalnya. Tetapi bagaimana mengoperasionalkan juga harus jelas. Dan PR utama adalah agar target global harus terpenuhi,” tandasnya.
Peta Jalan Penurunan Suhu di COP-26 Tak Jelas
Greenpeace Indonesia juga menilai COP-26 tidak melahirkan kesepakatan ambisius. COP-26 seharusnya menjadi momentum krusial dan ujian bagi kemanusiaan. Sayangnya belum ada peta jalan yang jelas demi mencapai target 1,5 derajat Celcius.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, COP-26 Glasgow seharusnya bisa menyepakati target-target spesifik yang kuat dan terukur demi mencapai target utama pemanasan global maksimum 1,5 derajat Celcius.
“Nyatanya itu tidak terjadi. Di menit-menit terakhir justru sejumlah negara besar seperti India, Saudi Arabia dan Australia mengusulkan pelonggaran target berdasar kepentingan nasional masing-masing,” ungkap Leonard dalam keterangannya.
Padahal tambahnya, upaya memerangi krisis iklim membutuhkan kerja sama global yang benar-benar berdasarkan bukti saintifik.
Indonesia sendiri masuk dalam daftar setidaknya 23 negara yang berkomitmen melakukan penutupan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara secara bertahap. Pemerintah pun telah mengumumkan rencana penutupan operasi PLTU batu bara sebelum 2040, bila mendapat dukungan internasional.
Rencana yang akan mengurangi emisi dari sektor energi secara signifikan ini diharapkan bisa terealisasi secara konkret. Pasalnya, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 justru masih menempatkan batu bara sebagai sumber energi utama. Oleh karena itu, perlu perubahan kebijakan energi secara mendasar dengan timeline yang jelas dan terukur.
“Dalam hal pendanaan, sudah dan akan semakin banyak institusi finansial di luar negeri yang berhenti membiayai investasi terkait batu bara. Hal ini harus diikuti oleh lembaga perbankan nasional. Pembiayaan di sektor energi harus beralih dari batu bara ke energi bersih dan terbarukan,” kata Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya.
Lindungi Hutan Alam dan Gambut yang Masih Tersisa
Di sektor kehutanan, Greenpeace mendesak pemerintah untuk berkomitmen melindungi hutan alam dan lahan gambut yang tersisa. Selain itu menghentikan izin-izin baru dan melakukan evaluasi terhadap izin-izin konsesi yang sudah keluar, serta memperkuat penegakan hukum untuk mencapai nol deforestasi.
Menurut analisa Greenpeace, selama periode moratorium hutan dan gambut (2011-2018) total deforestasi di area moratorium mencapai 1,2 juta hektare (ha). Sedangkan total deforestasi Indonesia baik di dalam dan di luar area moratorium mencapai 4,38 juta ha. Artinya, tingkat deforestasi di area moratorium mencapai 27,4% dari keseluruhan deforestasi yang terjadi di Indonesia.
“Kami melihat target utama Indonesia dalam mengatasi krisis iklim dengan mencapai nol deforestasi sesuai dengan komitmen yang ditandatangani Presiden Jokowi. Kami pun menolak skema carbon offset karena memberikan hak berpolusi pada pencemar dan menimbulkan potensi konflik baru pada masyarakat adat atau komunitas yang tinggal dan menggantungkan hidup pada hutan,” kata Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace untuk Indonesia Kiki Taufik.
Project Officer Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Abdul Ghofar sekaligus observer delegate di COP-26 mengungkapkan, ada lima agenda penting dalam konferensi tersebut.
Agenda tersebut yakni, penolakan terhadap praktik perdagangan karbon berbasis mekanisme pasar, pembahasan loss and damage akibat krisis iklim, percepatan phasing out PLTU batubara sebelum tahun 2030 dan penghentian solusi iklim palsu.
Selanjutnya, penyelamatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dari dampak krisis iklim. Terakhir, pendekatan negosiasi berbasis hak masyarakat adat, kelompok muda, perempuan dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pembahasan juga melahirkan Pakta Iklim Glasgow.
Namun, ia pun kecewa terhadap COP-26 yang mendapat sponsor sebuah korporasi besar yang masih menyumbang sampah plastik dari produknya.
Penulis : Fitri Annisa