Jakarta (Greeners) – Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat resmi dijalankan pada 1 Juli 2020. Namun, menurut Indonesia Center Environmental Law (ICEL) masih terdapat empat catatan celah hukum dalam pergub yang dikeluarkan pada 31 Desember 2019 ini.
Tiga hal yang diatur dalam pergub tersebut, yakni melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai, mewajibkan pemakaian kantong belanja ramah lingkungan, dan memperbolehkan kantong kemasan seperti plastik kiloan untuk mengemas daging, buah, dan sayur.
Bella Nathania, Asisten Peneliti Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL mengatakan, kebijakan tersebut tidak mengatur jangka waktu peralihan ke kantong kemasan ramah lingkungan. Menurutnya celah hukum itu akan dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Akibatnya terjadi penguluran waktu untuk beralih dari kemasan plastik ke kemasan ramah lingkungan.
Baca juga: Hukuman yang Minim dalam Perdagangan Satwa Dinilai Tak Punya Efek Jera
“Sebenarnya hal itu bisa diakali di bagian terakhir dari pergub, yaitu diberikan insentif pajak kalau berhasil tidak pakai kantong belanja dari plastik. Kenapa hal yang sama tidak diterapkan untuk peralihan kantong kemasan plastik ke kantong ramah lingkungan? Kalau dikasih insentif pasti pelaku usaha juga berlomba-lomba untuk beralih karena cukup menguntungkan,” ujar Bella pada webinar “Hari Pertama Pemberlakuan Larangan Kantong Plastik Sekali Pakai di Jakarta” Rabu, (01/07/2020).
Berikutnya, jenis kantong ramah lingkungan yang dimaksud dalam pergub juga tidak didefinisikan secara jelas. Ia menuturkan peralihan dari kantong kresek ke kantong ramah lingkungan akan lebih mudah dan cepat jika ditentukan jenisnya. Selain itu, sanksi administrasi dalam kebijakan juga bermacam-macam dan sifatnya berjenjang mulai dari teguran tertulis, denda atau uang paksa, dan pembekuan izin. Hasil penegakan hukum dari sanksi tersebut, kata dia, merupakan informasi publik yang sangat penting agar masyarakat mengetahui pelaku usaha yang melanggar hukum.
“Jangan sampai pengenaan sanksi hanya diketahui antara pelaku usaha dengan pemerintah saja. Harus transparan semuanya. Hal ini juga akan meningkatkan partisipasi publik dalam mendorong keberlangsungan pergub ini,” ujar Bella.
Terakhir, ICEL mengkritisi penetapan harga untuk kantong ramah lingkungan. Menurutnya pemerintah daerah DKI Jakarta tidak menetapkan harga yang wajar. Bella mengatakan peraturan gubernur ini semestinya bisa secara inklusif menjangkau kelas menengah dan atas untuk ikut mengimplementasikan kebijakan. “Berkaca pada Negara Rwanda sebagai negara terbersih di dunia, banyak sekali kantong plastik yang diselundupkan karena harga kantong ramah lingkungannya tidak terjangkau,” kata dia.
Kemasan Saset
Selain pembatasan penggunaan kantong plastik sekali pakai, desakan mengenai peraturan tentang kemasan produk maupun saset juga berkembang. Bella menyampaikan bahwa saat ini sudah terdapat peta jalan tentang Extended Producer Responsibility (EPR). Aturan tersebut mewajibkan produsen untuk mengurangi penggunaan plastik di dalam kemasannya. Sementara ini kebijakan itu baru terdapat di level pemerintah pusat dan belum terdapat di daerah.
Baca juga: TuK Indonesia: Korporasi Kelapa Sawit Kuasai Hutan Indonesia
Sementara Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), Tiza Mafira mengatakan kemasan yang menyatu dengan produk berbeda dengan kantong plastik. Hal tersebut membuat peraturannya tidak bisa disatukan dalam peraturan daerah seperti Pergub 142/2019. Kebijakan mengenai kemasan produk, kata dia, menekanan pada pengaturan bentuk dan jenis kemasan yang ramah lingkungan. “Peraturannya harus bisa meng-address itu semua, maka butuh peraturan di tingkat nasional dan tidak bisa di tingkat daerah,” ujar Tiza.
Tiza mengatakan isi peta jalan EPR mendorong produsen untuk mendesain ulang kemasan supaya lebih ramah lingkungan. Misalnya dengan membuat desain kemasan lebih besar mulai dari 200 hingga 500 mililiter. Tujuannya untuk menghilangkan kemasan-kemasan kecil seperti saset yang sulit didaur ulang.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani