Jakarta (Greeners) – Kementerian Kesehatan baru-baru ini mengonfirmasi adanya 88 kasus monkeypox di Indonesia sejak tahun 2022 hingga 2024, dengan 14 kasus terdeteksi pada tahun 2024. Masyarakat sebaiknya tidak menganggap sepele penyakit ini. Sebab, monkeypox termasuk dalam kategori penyakit zoonosis. Pemeliharaan satwa liar juga harus segera masyarakat hentikan karena berpotensi meningkatkan penyebaran penyakit zoonosis monkeypox.
Monkeypox atau mpox adalah penyakit sejenis cacar akibat virus yang ada pada satwa seperti tikus, monyet, dan kelelawar. Penemuan penyakit ini pertama kali pada monyet yang peneliti teliti pada tahun 1950-an, sehingga memiliki nama “monkeypox” atau cacar monyet.
Peneliti dan aktivis lingkungan, Rheza Maulana, mengungkapkan bahwa kekhawatiran mengenai monkeypox telah ia suarakan bersama para praktisi konservasi dan medis sejak tahun 2022.
BACA JUGA: 88 Kasus Monkeypox Terkonfirmasi di Indonesia
Pada tahun tersebut, Rheza bersama rekan-rekannya dari Aksi Peduli Monyet dan Animal Friends Jogja berdemonstrasi di depan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kelompok aksi tersebut juga sempat masuk dan bertemu dengan pihak KLHK untuk menyampaikan kekhawatiran mereka tentang ancaman zoonosis monkeypox.
“Saya pribadi dan rekan-rekan konservasi pernah berdiskusi bersama pihak pemerintah dan melakukan penyadartahuan di sosial media. Namun, mungkin tanggapan masyarakat belum sepenuhnya serius, bahkan pelaku pemelihara satwa liar justru menganggap sepele karena belum ada kasus di Indonesia. Nah, tapi sekarang sudah kejadian, bukan? Yang tadinya hanya perkiraan sudah menjadi kenyataan,” kata Rheza kepada Greeners lewat keterangan tertulisnya, Selasa (27/8).
Meskipun penyakit ini awalnya berasal dari luar negeri, Rheza menekankan bahwa monkeypox ini tetap termasuk penyakit zoonosis. Kendati demikian, masyarakat perlu sadar dan mawas diri akan ancaman zoonosis, baik zoonosis yang datang dari luar negeri atau kemungkinan munculnya zoonosis dari dalam negeri.
“Kita perlu memperketat jalur keluar masuk Indonesia dan juga perlu menekan aktivitas dalam negeri yang berpotensi memunculkan zoonosis seperti perdagangan dan pemeliharaan satwa liar,” ujar Rheza.
Risiko dari Interaksi Manusia dengan Satwa Liar
Rheza juga menyoroti bahwa penyebaran penyakit zoonosis, termasuk monkeypox, erat kaitannya dengan interaksi manusia dengan hewan yang tidak teregulasi.
Perdagangan satwa liar di pasar burung, di mana berbagai spesies dijual berdampingan, baik yang sehat maupun sakit, dapat memfasilitasi pertukaran patogen. Interaksi ini, terutama tanpa perlindungan yang memadai, meningkatkan risiko penyebaran zoonosis.
Lebih jauh, saat ini masih ada selebritas dan media yang menggaungkan peliharaan satwa liar. Hal itu bisa mendorong masyarakat untuk memelihara satwa liar tanpa memahami risiko kesehatan yang mungkin timbul.
“Risiko zoonosis bisa meningkat jika kita tidak mencegahnya dengan serius. Monkeypox adalah contoh nyata bagaimana penyakit zoonosis bisa menjadi kenyataan. Meskipun sebelumnya hanya dianggap sebagai potensi risiko,” ungkap Rheza.
Pentingnya Pencegahan Zoonosis
Zoonosis memiliki tingkat bahaya yang bervariasi. Zoonosis dari hewan domestik seperti anjing dan kucing biasanya sudah dikenal dan memiliki pengobatan yang tersedia. Sehingga, penyakit lebih mudah untuk diatasi. Namun, zoonosis yang baru muncul atau Emerging Infectious Diseases (EID) bisa sangat berbahaya. Sebab, belum ada pengobatan yang efektif dan bisa muncul dari eksploitasi satwa liar.
“Satwa liar itu kan bukan untuk dipelihara, mereka seharusnya hidup jauh dari manusia di habitatnya. Ada namanya siklus silavtik, yaitu ketika habitat hutan ‘menyegel’ satwa liar dan patogen sehingga tidak keluar menganggu manusia. Namun, justru manusia yang pindahkan satwa liar keluar dari habitatnya, lalu masuk ke pemukiman manusia untuk dijual dan dipelihara. Tanpa kita sadari, mereka bisa membawa penyakit yang belum diketahui sebelumnya,” ujar Rheza.
Contoh zoonosis lainnya termasuk rabies, yang dapat tertular dari hewan seperti monyet, tikus, dan kelelawar, serta HIV. Zoonosis tersebut awalnya berasal dari cairan tubuh primata dan berpindah ke manusia melalui perburuan di Afrika. Kemudian, Covid-19 yang mewabah secara global adalah contoh zoonosis yang bersumber dari satwa liar. Hal itu menunjukkan betapa luas dan serius dampak zoonosis bisa terjadi.
Para ahli mengidentifikasi Covid-19 sebagai zoonosis yang bersumber dari satwa liar seperti kelelawar dan trenggiling yang diperdagangkan untuk konsumsi di pasar hewan Wuhan. Hal ini menunjukkan bahwa zoonosis dapat berpotensi menyebar dari level individu hingga ke seluruh dunia.
Zoonosis Ancam Kesehatan
Masyarakat perlu mengetahui bahwa penyakit zoonosis ini bisa mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat secara luas. Contohnya adalah pandemi Covid-19, yang menyebar secara global dan menyebabkan sakit pada jutaan orang di seluruh dunia, bahkan mengakibatkan banyak korban jiwa.
“Bayangkan juga berapa biaya yang harus negara keluarkan untuk menanggulanginya melalui obat, vaksin, dan lain-lain. Itu baru satu jenis penyakit zoonosis, bayangkan kalau terus menerus muncul penyakit baru. Kita sudah tahu bahwa EID atau penyakit-penyakit baru yang akan muncul itu nyata. Saat ini yang harus kita lakukan adalah mencegahnya muncul,” kata Rheza.
Rheza menyarankan bagi masyarakat yang ingin memelihara hewan, peliharalah hewan domestik yang memang untuk dipelihara seperti anjing dan kucing. Bagi yang ingin mengonsumsi daging hewan, konsumsilah daging hewan ternak yang peruntukan pangan seperti daging sapi dan kambing.
Tiga Kasus Baru Monkeypox
Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan monkeypox sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang menjadi perhatian internasional (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) pada 14 Agustus 2024, WHO telah melaporkan tiga kasus baru di luar Afrika.
Ketiga kasus tersebut telah tersebar di Swedia pada 15 Agustus, Filipina pada 19 Agustus, dan Thailand pada 22 Agustus. Kasus baru di Swedia dan Thailand memiliki riwayat perjalanan ke Republik Demokratik Kongo, dengan varian clade Ib. Sementara itu, kasus baru di Filipina merupakan transmisi lokal tanpa riwayat perjalanan, dan terdeteksi dengan varian clade IIb.
“Kasus di Swedia dan Filipina sudah menjalani perawatan dan kondisinya membaik. Sementara itu, kasus di Thailand, yang masih baru, saat ini sedang memulai pengobatan,” jelas Juru Bicara Kementerian Kesehatan M Syahril di Jakarta, Jumat (23/8).
WHO mencatat pada periode akhir Juni hingga 17 Agustus 2024, terdapat 25.337 kasus monkeypox di seluruh dunia, dengan 34 kematian.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia