LONDON, 15 Februari 2017 – Perubahan iklim diperkirakan akan membuat perangkap bagi penguin Afrika yang membuat satwa ini mencari makanan di tempat minim ikan, demikian diungkapkan melalui pemindaian satelit.
Lebih lanjut, dampak tersebut bisa meningkatkan risiko kematian akibat kehausan yang dialami oleh burung penyanyi gurun di AS hingga empat kali lipat, ungkap para peneliti. Namun, menurut studi lanjutan, elang yang bermigrasi, pemburu alami di dunia burung, masih dapat beradaptasi dengan ketidakpastian jangkauan dan potensi mangsa.
Perubahan iklim, didorong oleh pemanasan global yang terjadi akibat pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca ke atmosfer, telah menciptakan masalah bagi banyak spesies.
Tekanan Penghancuran Habitat
Para peneliti telah berulang kali mengingatkan bahwa beberapa burung dan reptil yang sudah berada di bawah tekanan penghancuran habitat dan polusi dapat menghadapi kepunahan.
Hal ini juga bisa dialami oleh AS dan Inggris yang sudah lebih dahulu melakukan langkah konservasi. Lebih lanjut, burung-burung tersebut, yang bertelur pada satu zona iklim dan lainnya di musim dingin, akan menghadapi masalah pada kedua region tersebut.
Akibat perubahan ini, penguin Afrika yang masih muda kini berburu ikan di tempat yang salah, jelas studi terbaru dari jurnal Current Biology.
Para ilmuwan menggunakan satelit untuk melacak 54 penguin jackass (Spheniscus demersus) dari delapan koloni di Afrika selatan. Burung-burung muda tersebut telah mencari air dingin dengan level klorofil yang cukup tinggi yang menjadi penanda normal adanya plankton dan ikan pemakan plankton.
Namun, dengan perubahan iklim dan perikanan skala industri terjadi penurunan stok ikan, sementara burung-burung muda tersebut berenang ribuan kilometer menuju, yang diistilahkan oleh ahli biologi sebagai, perangkap ekologi.
Penguin Afrika terdaftar sebagai satwa ‘terancam’ di International Union for the Conservation of Nature. Bahkan, hanya beberapa penguin muda yang mampu bertahan.
“Penguin berpindah mencari tempat yang banyak plankton namun ikannya sudah tidak ada lagi di sana,” jawab Richard Sherley, peneliti dari Leiden Conservation Foundation, Universitas Exeter, UK, yang memimpin studi tersebut. “Secara khusus, sardin di Namibia sudah digantikan oleh ikan dengan energi lebih rendah dan ubur-ubur.”
Perubahan iklim, yang diprediksikan akan meningkat dari segi jumlah, rentang waktu dan intensitas untuk gelombang panas, akan menghadirkan tantangan yang berbeda bagi burung penyanyi di gurun. Burung-burung kecil ini telah mampu bertahan hidup di region yang terpanas dan terkering di region AS bagian barat daya.
Para peneliti melihat hubungan antara ekstrim panas per jam, laju penguapan air, dan fisiologi burung tersebut yang kehilangan air lebih cepat daripada burung-burung yang lebih besar.
Mereka melaporkan dalam situs Proceeding of the National Academy of Sciences bahwa jika dunia menghangat 4°C maka akan mampu menciptakan kondisi mematikan empat kali lebih sering ketimbang saat ini.
Hal tersebut tidak begitu menjanjikan bagi burung kecil seperti goldfinch yang kini menghadapi dehidrasi selama tujuh hari dalam setahun dan bisa menghadapi risiko kematian akibat kehausan selama 25 hari dalam setahun saat abad ini berakhir. Dalam kondisi ekstrim, burung seperti itu hanya bisa bertahan dua jam tanpa air.
Para peneliti menyatakan bahwa kaktus, burung goldfinch, burung Abert’s towhee, burung thrasher dan burung house finch dapat bertahan di gurun Mojave, Sonora, dan Chihuahua, maka harus segera dipikirkan untuk mengkonservasi vegetasi dan sumber air terbuka.
“Perkiraan ini memperlihatkan bahwa di beberapa bagian gurun tidak akan bisa ditinggali oleh banyak spesies di masa depan. Ditambah lagi, kondisi meningkatnya suhu justru mengurangi populasi di seluruh region,” ungkap salah satu penulis, Blair Wolf, profesor biologi di Universitas New Mexico, di Albuquerque.
Peneliti utama, Thomas Albright, yang juga asistan profesor di Laboratory for Conservation Biogeography, Universitas Nevada, dan peneliti lainnya memiliki pesan bagi orang-orang yang membakar batubara atau menggunakan bensin.
Menghadapi Perubahan Iklim
Mereka menulis : “Studi ini menghadirkan motivasi untuk membatasi dampak dari pemanasan iklim karena sudah ada bukti bahwa mayoritas peningkatan suhu udara ekstrim berasal dari pemanasan yang dilakukan oleh manusia.”
Namun, penelitian ketiga merupakan pengingat bahwa terkadang sulit untuk menghadirkan data yang lebih masuk akal, terutama bagi burung-burung yang bermigrasi.
Populasi burung elang berekor merah telah menurun 43 persen dari lokasi migrasi yang biasa. Namun, pada kesempatan lainnya, jumlah burung justru meningkat hingga 67 persen pada musim dingin, jelas para peneliti pada jurnal American Ornithological Society, The Condor.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah burung-burung tersebut menghadapi perubahan iklim dengan mengubah perilaku mereka.
“Hasil menunjukkan bahwa elang berekor merah akan merespon perubahan iklim, perubahan tata guna lahan dan perubahan lingkungan lainnya dengan bermigrasi pada jarak yang lebih pendek atau menjadi penghuni tetap selama setahun,” ungkap ketua peneliti, Neil Paprocki, ahli konservasi biologi di Hawkwatch International. – Climate News Network