Jakarta (Greeners) – Indonesia masuk dalam aliansi hutan tiga negara di perundingan iklim COP27 Sharm el Sheikh, Mesir bersama Brasil dan Kongo. Posisi ini harus Indonesia gunakan untuk mewujudkan keadilan iklim terutama untuk berlangsungan hidup masyarakat adat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendorong hal itu. Mereka menilai masyarakat adat selama ini berjuang demi kelestarian hutan. Sehingga mereka harus pemerintah perjuangkan daripada tujuan bisnis semata.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Parid Ridwanuddin mengatakan, Indonesia bersemangat memasukkan potensi blue carbon seperti mangrove dan lamun dalam potensi hutan tropis di dalamnya.
Tapi yang perlu diingatkan kembali adalah ke mana arah tujuan aliansi tersebut. “Aliansi tiga negara jangan sampai kemudian bertujuan pada bisnis seperti perdagangan karbon. Tapi harus melihat kerentanan masyarakat adat yang selama ini berjuang untuk menjaga kelestarian hutan,” katanya dalam Konpres Respons Koalisi Keadilan Iklim terhadap hasil G20 dan COP27, Senin (5/12).
Ia menyebut, skema offset harus menjadi perhatian serius. Skema offset merupakan izin yang diberikan untuk tetap merusak, mencemari dan melepas emisi turut mengancam masyarakat adat tergusur dari hutan.
Padahal, hutan telah lama merupakan bagian wilayah kelola masyarakat adat. “Saat hutan dijadikan penyeimbang karbon maka pemilik modal memegang kendali ekosistem hutan dan mengancam masyarakat adat,” kata Parid.
Keadilan Iklim Kelompok Rentan
Selain itu, Parid juga menyorot dalam COP27 Indonesia tak terlihat memiliki concern serius pada pendanaan Loss and Damage (LnD). Padahal, pendanaan tersebut berpeluang besar terhadap negara-negara berkembang dan rentan perubahan iklim seperti Indonesia.
“Karena banyak sekali masyarakat Indonesia yang terdampak. Misalnya, dalam masyarakat pesisir yang harus berhadapan dengan desa dan pulau terancam tenggelam, hingga banjir rob,” jelas dia.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menyatakan, Indonesia perlu mengaitkan aliansi hutan tiga negara tersebut ke dalam berbagai kebijakan dalam negeri.
Dibanding sektor lain, potensi hutan di Indonesia sangat besar untuk menyerap emisi karbon di Indonesia. “Misalnya mengaitkan dengan target FoLU Net Sink 2030 yang sudah Indonesia buat harapannya menjadi sumber pendanaan,” imbuhnya.
Ia juga mengingatkan adanya kejelasan mekanisme yang transparan dan akuntabel dalam penyaluran dana pendanaan agar berkontribusi menurunkan target emisi karbon di Indonesia.
Gagal Penuhi Target Kenaikan Suhu
Sebelumnya, Perjanjian Paris di tahun 2015 menghasilkan kesepakatan bahwa dunia harus membatasi kenaikan suhu bumi rata-rata 1,5 derajat Celcius. Namun, berbagai ilmuwan menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca terus menerus naik sehingga bumi berisiko gagal memenuhi target tersebut.
Parid mengungkap, bahwa COP27 telah gagal menyepakati batas 1,5 derajat Celcius. Ini tak lain karena adanya hegemoni sekitar 636 pelobi dari delegasi negara maju produsen fosil. Mereka berhasil masuk ke agenda pertemuan iklim COP27 ini.
“Padahal jika tidak disepakati menahan lebih dari 1,5 derajat Celcius, bahkan di atas 2 derajat Celcius maka kita akan menghadapi berbagai bencana. Bencana itu seperti kekeringan, gelombang panas, kenaikan air laut, hingga badai siklon tropis seperti di NTT,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Torry Kuswardono juga menyebut, penanganan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim demi menjaga suhu bumi agar tak lebih dari 1,5 derajat Celcius menjadi tak bermakna tanpa ada keadilan iklim. Termasuk memastikan kelompok paling rentan.
“Kebijakan-kebijakan pemerintah jangan sampai hanya menguntungkan segelintir masyarakat saja. Tapi bermanfaat besar terutama pada mereka yang lebih menderita, terdampak perubahan iklim. Misalnya kesulitan mendapatkan akses energi bersih,” ucapnya.
Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim IPCC menegaskan, bahwa hak atas asasi manusia tak bisa lepas dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin