Jakarta (Greeners) – Berdasarkan laporan Brown to Green Report 2018 yang diluncurkan pada Rabu, 21 November 2018, menyatakan bahwa sepanjang tahun 2017 Indonesia menunjukkan penurunan kinerja yang ditandai dengan semakin besarnya ketergantungan pada penggunaan bahan bakar fosil, terutama batu bara untuk sektor energi dan ketenagalistrikan. Oleh karena itu NDC Indonesia dinilai tidak konsisten dengan target batasan kenaikan suhu sesuai Kesepakatan Paris (Paris Agreement), sebaliknya suhu Indonesia meningkat menuju kenaikan antara 3 derajat dan 4 derajat Celcius.
Berdasarkan dokumen terbaru yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), peningkatan suhu rata-rata bumi sebesar 1,5 derajat Celcius dari suhu rata-rata. Kenaikan suhu tersebut akan memberikan dampak kepada ekosistem dan juga berbagai aspek kehidupan, termasuk suhu panas yang ekstrem, peningkatan intensitas dan jumlah hujan yang deras serta kejadian kekeringan.
BACA JUGA: 8th ICCEFE Siapkan Generasi Muda Menghadapi Perubahan Iklim
Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Prof. Ir. Rachmat Witoelar mengatakan, laporan IPCC tersebut menekankan bahwa peningkatan 1,5 derajat Celcius yang telah memberikan cukup banyak dampak ini pun masih merupakan skenario yang sangat sulit dicapai. Kesepakatan Paris yang diadopsi pada akhir 2015 lalu menargetkan kenaikan suhu sejauh mungkin di bawah 2 derajat Celcius dan bahkan tidak mencapai 1,5 derajat celcius.
Sejauh ini, komitmen para pihak yang telah disampaikan dalam bentuk Kontribusi yang Ditentukan secara Nasional (Nationally Determined Contributions/NDCs) ternyata tidak dapat menahan kenaikan suhu sebagaimana yang ditargetkan tersebut.
“Indonesia sendiri telah berupaya untuk mengurangi laju pengeluaran emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan energi dengan dikeluarkannya kebijakan moratorium lahan gambut di tahun 2016 dan penghentian pembangunan PLTU di Pulau Jawa untuk meningkatkan bauran energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025. Kedua perkembangan ini membuat Indonesia tetap berada di jalur transisi menuju pembangunan ekonomi rendah karbon,” ujar Rachmat Witoelar dalam pidatonya di acara Brown to Green Report 2018 di Hotel Le Meridien Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Namun secara keseluruhan, Rachmat menilai kontribusi nasional Indonesia terhadap perubahan iklim tetap tidak sesuai dengan target Kesepatan Paris, yaitu untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5°C, dan sebaliknya mengarah pada kenaikan hingga 3-4°C.
Kompilasi dan analisis dari seluruh NDCs yang ada mengindikasikan kenaikan suhu sekitar 3,7 derajat Celcius. Jika hal ini yang terjadi, tidak dapat dipungkiri lagi dampak yang ditimbulkan dapat dipastikan akan bersifat irreversible (tidak dapat diubah) dengan frekuensi dan tingkat kejadian yang akan lebih tinggi dibandingkan apa yang dilaporkan dalam laporan IPCC tersebut.
BACA JUGA: Kaltim Siapkan Strategi Pengendalian Perubahan Iklim
Diketahui bahwa sejalan dengan peran Indonesia sebagai para pihak pada Kesepakatan Paris, Indonesia telah menyampaikan NDC yang pertama di tahun 2016 dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan sumberdaya sendiri dan 41% dengan dukungan dan kemitraan internasional pada tahun 2030.
“Strategi dan perencanaan pembangunan yang ada harus disesuaikan. Kita tidak dapat lagi merencanakan pembangunan yang hanya terfokus pada pengentasan kemiskinan melainkan harus lebih terfokus pada kesetaraan antara ekonomi, sosial dan lingkungan yang pada kenyataannya merupakan pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan,” ujar Rachmat.
Subsidi untuk Bahan Bakar Fosil Terus Meningkat
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan bahwa berdasarkan Brown to Green Report 2018, pada tahun 2016 Indonesia menyediakan dana sebesar UD$8,8 miliar sebagai subsidi bahan bakar fosil (angka tersebut terus berfluktuasi dari US$7,0-25,8 miliar sejak tahun 2007). Dari tahun 2007 hingga tahun 2016, angka subsidi tercatat lebih besar (US$0,006) dibandingkan rata-rata negara G20 (US$0,003) per unit Produk Domestik Bruto (PDB).
Dari tahun 2013 hingga 2015, lembaga keuangan publik di Indonesia menghabiskan rata-rata US$1,4 miliar untuk batu bara, minyak dan proyek gas, US$0,03 miliar untuk proyek-proyek energi terbarukan, dan US$ 0,06 miliar untuk pembiayaan di sektor tenaga listrik dalam negeri.
“Transaksi terbesar yang tercatat pada periode ini adalah jaminan infrastruktur Indonesia kepada pembangkit listrik batu bara Sumsel Monmouth sebesar US$4 miliar. Data ini pun kurang komprehensif karena terbatasnya transparansi lembaga keuangan,” tutur Fabby.
Disamping itu, Fabby mengatakan perkembangan positif yang dilakukan Indonesia ialah pemerintah mengumumkan pada 2017 bahwa tidak ada pembangkit listrik batubara baru yang akan dibangun di Jawa, deforestasi turun sebesar 60% pada 2016-2017, dan Indonesia memiliki paparan yang relatif kuat terhadap dampak iklim seperti produksi pangan, air (limpasan), dan banjir.
“Dengan perkembangan positif tersebut, semoga Indonesia bisa meraih target yang sudah dijanjikan di NDC maupun SDGs,” tutup Fabby.
Penulis: Dewi Purningsih