Jakarta (Greeners) – Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)–baik dengan bendungan skala besar maupun kecil–berperan penting dalam transisi energi Indonesia menuju sumber energi rendah karbon. Namun, menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), implementasi PLTA masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk permasalahan sosial, politik, dan lingkungan.
Plt. Kepala Pusat Riset Hukum (PRH) BRIN, Emilia Yustiningrum memberikan contoh studi kasus di Poso, Sulawesi Tengah. Di daerah ini terdapat tiga PLTA yang menggunakan air dari Sungai Poso sebagai sumber daya.
Emilia menjelaskan, pembangunan pembangkit listrik tenaga air itu membutuhkan area yang luas dan sering kali menutup aliran sungai. Proses ini berdampak pada gangguan sosial kehidupan masyarakat lokal, ekosistem lingkungan sungai, serta masalah ekologi.
BACA JUGA: Menyelamatkan Orangutan Tapanuli di tengah Pembangunan PLTA Batang Toru
“PLTA menghalangi rute migrasi ikan yang akhirnya berdampak kembali kepada masyarakat, dari sisi ekonomi yang bergantung pada perikanan untuk mata pencaharian atau ketahanan pangan,” ungkap Emilia dalam kegiatan Guest Lecture Series PRH BRIN di Jakarta, Jumat (20/9).
Belut di Danau Poso, yang menjadi sumber mata pencaharian warga lokal, telah dilaporkan mengalami penurunan jumlah sejak tahun 2019. Hal ini akibat bendungan PLTA yang menghalangi migrasi spesies tersebut antara danau dan sungai.
Dalam paparan hasil penelitiannya, Amy Falon dari Universitas Charles Sturt Australia menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 99 PLTA dan 18 PLTA lainnya sedang dalam perencanaan.
Ia memperingatkan, jika sumber daya air tawar tidak dijaga, dampaknya akan dirasakan oleh hampir 10% penduduk Indonesia. PLTA hanyalah salah satu bagian dari permasalahan yang lebih besar. Amy menjelaskan bahwa ada 1.032 penghalang irigasi, termasuk 299 bendungan penyimpanan air dan 76 bendungan pengontrol banjir.
Pentingnya Pendekatan Lintas Sektoral untuk Kelola PLTA
Sementara itu, Amy menekankan pentingnya pendekatan nexus sebagai metode untuk menangani pembangunan yang saling bergantung antarberbagai sektor. Pendekatan ini berfokus pada identifikasi respons yang saling menguntungkan, dengan mengedepankan pemahaman sinergi antara kebijakan air, energi, dan pertanian.
Menurut Amy, pendekatan nexus menyediakan kerangka kerja yang terinformasi dan transparan. Hal itu bertujuan untuk menentukan keseimbangan dan sinergi yang tepat, sehingga menjaga integritas dan keberlanjutan ekosistem.
Ia menambahkan, pendekatan ini perlu memperhatikan aspek politik. Kurangnya kolaborasi lintas sektor disebabkan bukan hanya kurangnya mekanisme dan pendekatan yang tepat, melainkan juga perebutan pengaruh dan kekuasaan antara berbagai sektor dan aktor.
“Kerangka regulasi merupakan komponen penting tata kelola lingkungan. Namun juga perlu mempertimbangkan politik, kekuasaan, dan lembaga informal. Sejauh mana kita dapat mengharapkan organisasi yang berorientasi pada keuntungan untuk melakukan inisiatif pembangunan partisipatif?” imbuhnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia