BRG Jelaskan Penyebab Kebakaran di Areal Restorasi

Reading time: 3 menit
Karhutla
Greenpeace Indonesia menyebut, selama periode 2015 hingga 2018, kebakaran gambut menyumbang 1,87 gigaton emisi karbondioksida. Foto: shutterstock.com

Jakarta (Greeners) – Terjadinya kebakaran lahan dan hutan di 2019 mengundang pertanyaan dari beberapa pihak. Sebab area terbakar berada di wilayah yang menjadi tanggung jawab Badan Restorasi Gambut (BRG). Data BRG mencatat terdapat tujuh faktor penyebab lahan gambut yang direstorasi kembali terbakar.

Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut, Myrna A. Safitri mengatakan pemilihan lokasi target restorasi gambut tidak hanya berdasarkan kriteria area yang terbakar. Namun, terdapat penyebab lain seperti wilayah fungsi lindung ekosistem gambut berkalan.

Menurut Myrna implementasi telah dilakukan sesuai dengan peta kebakaran yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2015. KLHK menyebut jumlah luas kebakaran pada lahan gambut mencapai 600 ribu hekta. Sementara Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut, menilai daerah yang harus direstorasi mencapai 2 juta hektar yang terdiri dari area fungsi lindung dan budidaya.

Baca juga: Kebakaran Lahan Gambut dan Sawit Picu Krisis Iklim

Perubahan tata ruang di lapangan, kata Myrna, juga berpengaruh terhadap kebakaran di lahan gambut. Ia menuturkan, saat dilakukan perestorasian dan pembangunan Infrastruktur Pembasahan Gambut (IPG) ditemukan lahan masyarakat atau negara yang berubah fungsi menjadi area konsesi. Padahal anggaran negara, kata dia, tidak boleh dipergunakan untuk merestorasi wilayah konsesi. Karena menjadi tanggung jawab pemegang lahan.

“Kita menggunakan peta Hak Guna Usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), tapi ternyata areal tidak jelas dan tumbuh sawit atau akasia. Kami menduga bahwa lahan itu sudah mendapatkan izin, tapi kita tidak tahu izinnya diberikan oleh siapa dan termasuk ke dalam izin apa. Meskipun itu masuk ke dalam target restorasi, kita tidak ingin ada risiko di dalam pelaksanaan keuangan negara karena salah bangun,” ujar Myrna di Jakarta, Rabu (22/01/2010).

Badan Restorasi Gambut (BRG)

Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut, Myrna A. Safitri, menjelaskan penyebab kebakaran di areal restorasi, dalam diskusi media “Empat Tahun Merawat Gambut” di Jakarta, Rabu (22/01/2010). Foto: www.greeners.co/Dewi Purningsih

Terbatasnya anggaran BRG untuk merestorasi lahan menyebabkan rencana pembangunan IPG seperti sekat kanal, sumur bor atau penimbunan kanal tidak dapat dilaksanakan. Anggaran 2017 tercatat sebesar Rp 428 miliar, lalu pada 2018 anggaran mulai dibagi menjadi dua. Pertama yang diberikan oleh pemerintah daerah senilai Rp 280 miliar dan untuk BRG Rp234 miliar. Tahun 2019, untuk pemda Rp 158 miliar dan BRG Rp148 miliar.

Myrna menilai, dana yang diberikan ke pemerintah daerah belum diterapkan dengan maksimal. Sebab, kata dia, lokasi yang seharusnya sudah terbangun sekat kanal atau sumur bor belum juga dibuat. “Kegiatan restorasi itu tidak berjalan sebanding dengan lajunya kerusakan yang ada. Dengan terbatasnya dana mau tidak mau membangun sekat kanal terbatas dan akhirnya kami meminta bantuan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat juga untuk turut membantu,” ujarnya.

Ia juga mengatakan, terdapat areal terbakar baru di luar peta kebakaran yang ada. Peta kebakaran 2015 dan 2017 dijadikan salah satu dasar penentuan target restorasi yang digunakan oleh BRG. Meskipun diketahui ada wilayah baru yang terbakar di lur peta tersebut. Myrna juga menyebut adanya pembakaran yang dilakukan oknum tertentu dengan berbagai tujuan. Sementara BRG tidak memiliki kewenangan dalam penegakan hukum. “Kami tidak ada kewenangan hukum untuk menghukum karena tugas kami hanyalah merestorasi,” ujar Myrna.

Baca juga: Pemda Kalteng Pastikan Pembangunan Ibukota Baru Tidak Berada di Kawasan Gambut

Di lapangan, BRG menemukan lahan tidak berkepemilikan ketika kebakaran sedang terjadi. Menurut Myrna hal tersebut juga menghalangi upaya BRG untuk merestorasi. “Kalau ditanya siapa pemiliknya tidak ada yang tau. Contohnya, banyak di Riau ada lahan di desa tersebut tapi tidak ada yang mengakui. Hal seperti ini kita menyebutnya De Facto Open Access,” ucap Myrna.

Sementara untuk kualitas, IPG dinilai tidak seluruhnya sesuai standar. Karena pembangunannya tidak hanya dilakukan oleh BRG, tetapi juga oleh perusahaan, perguruan tinggi, dan LSM dengan standar yang berbeda. BRG juga menyebut pelaksana proyek IPG tidak semuanya mematuhi standar.

“Kami tau bahwa dari ribuan sekat kanal dan sumur bor tidak semua kualitasnya baik, tapi yang buruk tidak sebanyak yang ada. Karena ada pembangunan sumur bor atau sekat kanal yang dibangun oleh pihak-pihak bantuan seperti universitas. Pasti standar yang digunakan berbeda-beda,” kata Myrna.

Sedangkan perihal pemeliharaan IPG, BRG mengatakan hanya dapat melakukan pemeliharaan instalasi yang dibangun dengan dana APBN. Sementara banyak IPG dibangun pihak lain tanpa melaporkan ke BRG terkait keberadaan dan kondisinya. “Dana pemeliharaannya pun sangat kecil dibanding dengan jumlahnya. Sebenarnya fase awal lima tahun ini memang dilakukan pembangunan IPG dan fase setelahnya baru pemeliharaan,” ujar Myrna.

Tantangan Restorasi Gambut

 Project Coordinator Partner for Resilience Wetlands International Indonesia Susan Lusiana menambahkan bahwa tantangan dalam melakukan restorasi gambut di antaranya, kompleksitas kegiatan di dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), lokasi restorasi lintas batas administratif di kabupaten dan provinsi, lokasi restorasi melintasi lahan konsesi milik perusahaan, turunnya permukaan gambut, dan terjadinya genangan serta tereksposnya tanah mineral (hilangnya gambut).

“Di dalam satu KHG, terdapat berbagai kegiatan dan kepentingan, baik oleh swasta, masyarakat maupun pemerintah. Jaringan kanal yang kompleks dan panjang di dalam KHG ini telah menyebabkan gambut menjadi kering di musim kemarau dan akhirnya mudah terbakar, dan tergenang di musim hujan akibat lahan gambutnya mengalami subsiden,” ujar Susan.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top