Jakarta (Greeners) – Selama tahun 2018, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI telah menyita kosmetik dan obat tradisional ilegal senilai Rp 134,13 miliar. Rincian temuan ini adalah kosmetik ilegal dan atau mengandung bahan dilarang (BD) bahan berbahaya (BB) senilai Rp112 miliar serta obat tradisional (OT) ilegal dan atau mengandung bahan kimia obat (BKO) senilai Rp22,13 miliar.
Temuan ini merupakan hasil pengawasan rutin peredaran produk di pasar (post-market control), adanya kasus, maupun operasi penertiban ke sarana produksi, sarana distribusi, atau retail oleh BPOM RI melalui Balai Besar atau Balai POM di seluruh Indonesia.
Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito menyampaikan bahwa temuan kosmetik didominasi oleh produk kosmetik yang mengandung merkuri, hidrokinon dan asam retinoat. BPOM RI juga menemukan enam jenis kosmetik yang sudah ternotifikasi mengandung BD/BB yaitu pewarna dilarang (merah K3) dan logam berat (timbal). Secara umum bahan tersebut dapat menyebabkan kanker (karsinogenik), kelainan pada janin (teratogenik), dan iritasi kulit.
Sementara itu, BKO yang teridentifikasi dalam temuan obat tradisional didominasi oleh sildenafil sitrat, fenibutazon dan parasetamol yang berisiko menimbulkan efek kehilangan penglihatan dan pendengaran, stroke, serangan jantung, kerusakan hati, perdarahan lambung, hingga gagal ginjal.
“Seluruh temuan kosmetik mengandung BD/BB dan OT mengandung BKO telah ditindaklanjuti secara administratif, antara lain berupa pembatalan notifikasi atau izin edar, penarikan dan pengamanan produk dari peredaran, serta pemusnahan. Untuk produk kosmetik dan OT ilegal dilakukan proses pro-justitia,” ujar Penny pada acara Public Warning 2018 Kosmetik dan Obat Tradisional Ilegal di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Rabu (14/11/2018).
BACA JUGA: BPOM Rilis Daftar Kosmetik dan Obat Tradisonal Ilegal
Penny K. Lukito mengungkapkan bahwa BPOM RI telah mengungkap 36 perkara tindak pidana OT tanpa izin edar dan atau mengandung BKO, dan 45 perkara kosmetik tanpa izin edar dan atau mengandung BD atau BB.
“Keseluruhan perkara tersebut telah ditindaklanjuti secara pro-justitia. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Putusan tertinggi pengadilan perkara OT yaitu pidana penjara 2 tahun dan denda 1 miliar rupiah, sementara perkara kosmetik dijatuhi sanksi berupa putusan pengadilan paling tinggi penjara 2 tahun 6 bulan dan denda 1 miliar rupiah,” katanya menerangkan.
Penny mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam membeli makanan, kosmetik, obat tradisional di perdagangan elektronik (e-commerce) karena saat penangkapan operasi produk ilegal beberapa waktu lalu, BPOM mendapatkan produk obat ilegal senilai Rp17 miliar.
“Kami menemukan obat tradisional seperti obat pelangsing dan obat kuat yang dijual secara online di mana kami bekerjasama dengan jasa pengiriman barang Expindo untuk menangkap barang-barang ilegal tersebut. Tidak dipungkiri bahwa e-commerce sudah sangat berkembang, maka itu kami selalu meningkatkan upaya pengawasan,” kata Penny.
BACA JUGA: BPOM Tindak Lanjuti Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Pangan
Sementara itu, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM Mayagustina Andarini mengatakan adanya penurunan jumlah produk yang dilarang atau ilegal. Hal itu karena ada kesadaran dari perusahaan jika BPOM sudah melakukan pengawasan yang ketat.
“Kira-kira penurunannya dari tahun 2017 ke tahun 2018 ini 50%, dari yang sebelumnya 19 item menjadi 6 item. Namun dari penurunnya jumlah tersebut kita tetap harus waspada,” ujar Maya.
Maya menegaskan kepada perusahaan yang memasang nomor fiktif izin edar akan dikenakan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2009 pasal 196.
Penulis: Dewi Purningsih