Jakarta (Greeners) – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyatakan bahwa informasi mengenai penghentian kontrak kerjasama rumah sakit dikaitkan dengan defisit BPJS Kesehatan adalah informasi yang tidak benar. Karena, apabila ada fasilitas kesehatan yang belum terbayarkan oleh BPJS Kesehatan, rumah sakit dapat menggunakan skema supply chain financing dari pihak ke tiga yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris mengatakan Fasilitas Kesehatan (Faskes) dan Rumah Sakit (RS) yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan wajib memperbarui kontrak setiap tahun dan hakikat dari kontrak adalah semangat mutual benefit. Atas dasar itu, ia menampik anggapan adanya penghentian kontrak kerjasama dikarenakan defisit anggaran BPJS Kesehatan.
“Kami sampaikan informasi tersebut tidak benar, bukan di situ masalahnya. Sampai saat ini pembayaran oleh BPJS Kesehatan tetap berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yakni Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan,” kata Fachmi dalam konferensi pers pada Senin (07/01/2019) di Gedung Adhyatma Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
BACA JUGA: Kemenkes Keluarkan Surat Rekomendasi, RS Bisa Lanjutkan Kerjasama dengan BPJS
Menurut Fachmi konsep pembayaran kepada RS dan Faskes yang dipakai saat ini adalah anggaran berimbang. Artinya pengeluaran dan pemasukan harus seimbang.
“Tentu kalau berbicara keseimbangan, ada peraturan iuran yang diberikan anggota RS dan Faskes untuk menutup anggaran pengeluaran. Namun, iuran itu juga membutuhkan penyesuaian dan banyak pertimbangan, seperti kemampuan dari RS, Faskes, dan masyarakat,” ujar Fachmi.
Lebih lanjut Fachmi menjelaskan bahwa selain iuran, ada pilihan lain untuk menyeimbangkan anggaran yaitu menyesuaikan dana yang dapat dikurangi. Pilihan lainnya adalah adanya suntikan dana tambahan dari pemerintah. Untuk pilihan terakhir ini, Fachmi menegaskan ada pengawasan serta audit proses administrasi keuangan di pemerintahan.
“Karena uang negara, (dana) ini harus dikeluarkan melalui administrasi yang tidak boleh sembarangan. Mungkin dalam proses administrasi itu yang mengakibatkan adanya hutang jatuh tempo dan beredar isu-isu yang salah, RS merasa terlambat dibayar. Sebenarnya kalau kami terlambat membayar kami ini dihukum berupa denda 1% dalam sebulan untuk setiap denda yang ada. Maka itu kami menawarkan mekanisme supply chain financing kepada Faskes dan RS. Itu juga sifatnya sukarela atau opsional,” jelas Fachmi.
BACA JUGA: Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Tembakau Membunuh 7 Juta Orang Setiap Tahun
Senada dengan Fachmi, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Maya Amiarny Rusady mengatakan bahwa BPJS harus membayar 15 hari setelah klaim pembayaran masuk dari Faskes dan RS, termasuk biaya pelayanan dan biaya obat yang diberikan kepada pasien.
“Jadi kalau BPJS terlambat kami kena denda per bulan pelayanan setiap klaim diajukan, sehingga kalau kami belum bayar maka satu bulan sejak klaim diajukan kami kena denda 1%. Bayangkan jika itu terjadi di semua Faskes dan RS. Kami ini juga memiliki hutang yang banyak untuk membayar denda itu tapi kami selalu mengikuti peraturan yang ada,” tegas Maya.
“Maka itu, kami mengimbau masyarakat tidak perlu khawatir akan pelayanan kesehatan yang menggunakan BPJS, karena masih beroperasi seperti biasa dan program pemerintah, seperti Indonesia Sehat, BPJS Kesehatan sangat mendukung. Kami akan bekerja semaksimal mungkin untuk mewujudkan program pemerintah,” pungkas Maya.
Penulis: Dewi Purningsih