Jakarta (Greeners) – Gempa bumi menjadi salah satu ancaman bencana besar di Indonesia. Hingga kini prediksi gempa secara pasti masih menjadi masalah. Indonesia diakui masih belum mampu memprediksi gempa secara pasti di mana dan kapan akan terjadi.
Earthquake Prediction Research Centre Japan (EPRC) telah mengembangkan teknologi yang memungkinkan kita memprediksi gempa dan tsunami sebagai bencana susulan. Pengembangan teknologi ini pun mendorong Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk menerapkan teknologi tersebut sebagai upaya peringatan dini.
“Apalagi lebih dari 184 juta masyarakat Indonesia terpapar potensi gempa bumi pada kategori sedang hingga tinggi,” terang Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB di Jakarta, Kamis (06/04).
Teknologi yang dimaksud, jelas Sutopo, adalah gabungan teknologi canggih seperti satelit, radar, GPS sensor dan peralatan pendukung lain seperti pendeteksi gelombang elektromagnetik. Di samping itu, dukungan teknologi ini disertai beragam data seperti tinggi muka air. Data yang digunakan pun berasal dari data yang diperoleh dari satelit milik Amerika Serikat, Rusia, Jerman dan Jepang. Beragam data tadi kemudian diolah dan dianalisis dengan supercomputer artificial intelligence.
“Harapan dari pengembangan teknologi ini yaitu terwujudnya International Surface Artificial intelligence Communicator (ISACO). Nanti, setiap orang yang berada di wilayah rawan bencana akan mendapatkan informasi potensi ancaman gempa,” kata Sutopo.
BACA JUGA: Antisipasi Banjir, BNPB dan MIT Luncurkan PetaBencana.id
Surat elektronik peringatan dini juga dapat diakses melalui telepon pintar yang memberitahukan satu hari jelang gempa berkekuatan lima atau lebih terjadi. Namun demikian, ia tetap menekankan kalau pengetahuan risiko dan kesigapan untuk melakukan evakuasi ke tempat yang lebih tinggi juga sangat penting dipahami oleh setiap individu.
Melalui teknologi canggih ini, Jepang telah dapat memprediksi potensi gempa sehingga masyarakat dapat siap siaga mengantisipasi risiko terburuk. Jepang memprediksi gempa besar yang kemudian memicu tsunami. Apabila bencana itu terjadi, 323.000 jiwa di 30 prefektur jelas akan terpapar bahaya tersebut. Menurut perhitungan EPRC, potensi kejadian berdasarkan data sudah mencapai 80%. Potensi gempa tersebut diperkirakan terjadi karena aktivitas lempeng tektonik Great Nankai Trough.
Analisis dari teknologi yang digunakan pun menunjukkan hasil yang mencengangkan. Persentase akurasi dalam kurun waktu 3 tahun (1 Februari 2013 sampai 31 Januari 2016) menunjukkan nilai tinggi. Gempa dengan kekuatan magnitude 6 terjadi 38 kali dan terdeteksi sebelum gempa terjadi sebanyak 31 kali atau akurasi mencapai 82%. Gempa dengan magnitude 5 – 5,9, nilai akurasi sebesar 77%.
BACA JUGA: Tahun 2016 Tercatat Sebagai Rekor Tertinggi Bencana Sejak 2012
Peneliti EPRC asal Jepang Shigeyoshi Yagishita dalam keterangan resminya mengatakan, 1.400 tahun terakhir, gempa-gempa besar terjadi pada periode 100 sampai 200 tahun karena lempeng Nankai Trough.
Shigeyosi mengatakan bahwa pihaknya telah mengetahui potensi gempa besar yang kemungkinan akan terjadi 30 tahun mendatang dengan kemungkinan 80%. Namun ia mengakui sangat sulit membangun tembok penghalang tsunami setinggi 10 meter di sepanjang kepulauan di Jepang. Padahal, potensi gempa besar di Nankai Trough dapat memicu tsunami setinggi 34 meter di wilayah Tosashimizu, Kochi.
“EPRC berkeinginan untuk membantu Indonesia karena memiliki karakteristik dimana berada dekat dengan lempeng tektonik. Kami tidak akan membebankan biaya kepada Pemerintah Indonesia apabila teknologi diterapkan di Indonesia. Untuk penjajakan pengembangan teknologi prediksi gempa tersebut BNPB akan bekerjasama dengan BMKG, BIG, BPPT, perguruan tinggi dan institusi lainnya,” ujar Shigeyosi.
Penulis: Danny Kosasih