Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meminta pemerintah daerah mengantisipasi risiko bencana kekeringan meteorologis tahun ini.
La Nina yang sempat membuat musim kemarau lebih basah akan berakhir. BMKG memperkirakan El Nino yang ditandai minimnya curah hujan berpotensi terjadi sebesar 50-60 %. Fenomena La Nina akan berada pada posisi netral pada Maret 2023 dan akan terus bertahan hingga akhir semester pertama 2023.
Sedangkan pada semester kedua, sekitar Juli akan beralih menuju fase El Nino lemah. “Seandainya tidak ada El Nino pun maka ada potensi wilayah yang lebih kering dari normalnya karena La Nina selama tiga tahun terakhir telah berakhir,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers virtual, baru-baru ini.
Risiko Bencana Kekeringan
Ancaman kekeringan ini dikhawatirkan memicu berbagai bencana kekeringan meteorologis seperti kebakaran hutan dan lahan hingga kekurangan air bersih. Oleh karena itu, saat masih musim penghujan ini pemerintah daerah harus berupaya menampung atau memanen air hujan.
“Saat ini mumpung masih hujan maka lakukan pemanenan air hujan. Penuhi waduk, embung, kanal retensi dan penyimpanan air buatan lainnya di masyarakat melalui gerakan memanen air hujan,” ucapnya.
BMKG memprediksi awal musim kemarau pada April 2023 akan terjadi di wilayah Nusa Tenggara dan Bali. Lalu merambah ke Jawa. “Kemudian berkembang di wilayah Indonesia pada Mei hingga Agustus 2023,” imbuhnya.
Lebih jauh Dwikorita menyebut dari 699 zona musim (zom) di Indonesia, 119 zona musim atau 17 % diprediksi memasuki kemarau pada April 2023. Sedangkan zom lainnya memasuki musim kemarau secara bergantian pada Mei hingga Juni 2023.
Puncak kemarau akan berlangsung pada bulan Agustus 2023 yang meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (45,92 %).
Pastikan Ketersediaan Air
Sementara pakar kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero mengingatkan, pentingnya memonitor kondisi ketersediaan air pada masing-masing sumber, termasuk di waduk atau sungai yang selama ini menjadi sumber air untuk pertanian.
“Pemantauan itu hendaknya benar-benar serius dengan tindakan nyata di lapangan,” katanya kepada Greeners, Rabu (8/3).
Ia menambahkan, harus pula memastikan pengaturan kapasitas air tanpa menyebabkan penderitaan pada masyarakat karena kekurangan air.
Selanjutnya peluang lain untuk mengurangi waduk yang kosong itu adalah dengan hujan buatan. Sehingga stok air bisa terjaga sampai batas tertentu. Ini akan terasa, terutama pada daerah bergambut.
“Antara masyarakat yang butuh air untuk penanaman pertaniannya dengan korporasi untuk menjaga gambutnya tetap basah agar tidak mudah terbakar diperlukan,” imbuhnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin