Jakarta (Greeners) – Selain El Nino, Indonesia juga akan mengalami fenomena La Nina yang dalam bahasa latin berarti “gadis cilik”, namun secara umum biasa diartikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi penurunan suhu muka laut di kawasan Timur equator di Lautan Pasifik. La Nina sendiri tidak dapat dilihat secara fisik dan periodenya pun tidak tetap.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Andi Eka Sakya menerangkan, fenomena La Nina menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia bertambah dan berpotensi menyebabkan banjir. Namun karena posisi geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena La Nina.
“La Nina ini boros air. Debit airnya banyak dan potensi banjirnya cukup besar,” ujar Andi, Jakarta, Jumat (23/10).
Bagi Indonesia, kata Andi, dampak paling signifikan bisa dilihat dari banjir di beberapa wilayah serta merusak sawah-sawah padi milik petani. Namun, hal ini seharusnya bisa diatasi dengan mekanisme antisipasi perancanaan yang bagus dan terukur.
Andi menjelaskan andai para petani memiliki varietas padi yang tahan pada ketinggian dan cuaca tertentu, sebetulnya La Nina ini bukanlah sebuah masalah. Bahkan, lanjut Andi, La Nina ini bisa saja diubah menjadi berkah karena curah hujan yang tinggi datang di saat musim kemarau. Oleh karena itu La Nina banyak disebut sebagai kemarau basah. Untuk potensi banjir di perkotaan sendiri masih sangat besar apabila gorong-gorong, saluran irigasi dan lainnya tidak ditangani dengan baik.
“Jadi, secara garis besar tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan datangnya La Nina dalam konteks apabila mekanisme antisipasinya jalan,” pungkasnya.
Penulis: Danny Kosasih