Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan kondisi suhu udara gerah yang terjadi di Indonesia belakangan ini akibat dari peralihan musim hujan ke musim kemarau. Fenomena itu sebagai kombinasi dampak pemanasan permukaan dan kelembapan yang masih relatif tinggi pada periode peralihan ini.
Periode peralihan umumnya dicirikan dengan kondisi pagi hari yang cerah, siang hari yang terik dengan pertumbuhan awan yang pesat diiringi peningkatan suhu udara. Kemudian, terjadi hujan pada siang menjelang sore hari atau sore menjelang malam hari.
Sedangkan pada malam hari, kondisi gerah serupa juga dapat terasa jika langit masih tertutup awan dengan suhu udara serta kelembapan udara yang relatif tinggi. Selanjutnya, udara berangsur-angsur mendingin kembali jika hujan sudah mulai turun.
BACA JUGA: Suhu Naik, Perubahan Iklim Bisa Perparah Potensi Penularan Penyakit
Deputi Bidang Klimatologi, Ardhasena Sopaheluwakan menyampaikan bahwa suhu udara maksimum tertinggi di Indonesia selama sepekan terakhir tercatat terjadi di Palu 37,8°C pada 23 April lalu.
Suhu udara maksimum di atas 36,5°C juga tercatat di beberapa wilayah lain. Pada tanggal 21 April di Medan, Sumatera Utara yang mencapai 37,0°C, dan di Saumlaki, Maluku mencapai suhu maksimum sebesar 37.8°C. Kemudian, pada tanggal 23 April di Palu, Sulawesi Tengah mencapai 36,8°C.
Berdasarkan hasil pantauan jaringan pengamatan BMKG, hingga awal Mei 2024 menunjukkan bahwa baru sebanyak 8% wilayah Indonesia (56 Zona Musim atau ZOM) telah memasuki musim kemarau.
“Meskipun demikian, sekitar 76 % wilayah Indonesia lainnya (530 ZOM) masih berada pada periode musim hujan,” ungkap Ardhasena di Jakarta, Senin (6/5).
Indonesia Tak Alami Gelombang Panas
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menegaskan cuaca panas yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini bukanlah akibat gelombang panas atau heatwave. Berdasarkan karakteristik dan indikator statistik pengamatan suhu yang dilakukan BMKG, fenomena cuaca panas tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai gelombang panas.
“Memang betul, saat ini gelombang panas sedang melanda berbagai negara Asia, seperti Thailand dengan suhu maksimum mencapai 52°C. Kamboja, dengan suhu udara mencapai level tertinggi dalam 170 tahun terakhir, yaitu 43°C pada minggu ini. Namun, khusus di Indonesia yang terjadi bukanlah gelombang panas, melainkan suhu panas seperti pada umumnya,” ucap Dwikorita.
BACA JUGA: Gelombang Panas Landa Sejumlah Negara Dunia, Bagaimana Indonesia?
Dwikorita menerangkan, kondisi maritim di sekitar Indonesia dengan laut yang hangat dan topografi pegunungan mengakibatkan naiknya gerakan udara. Sehingga, terjadi penyanggaan atau buffer kenaikan temperatur secara ekstrem dengan terjadi banyak hujan yang mendinginkan permukaan secara periodik. Hal inilah yang menyebabkan tidak terjadinya gelombang panas di wilayah kepulauan Indonesia.
Suhu panas terjadi akibat dari pemanasan permukaan sebagai dampak dari mulai berkurangnya pembentukan awan dan berkurangnya curah hujan.
Gelombang Panas Landa Asia
Gelombang panas telah melanda sejumlah negara di Asia. Vietnam melaporkan suhu maksimum di beberapa bagian utara dan tengah mencapai angka 44°C. Sementara itu di Filipina, fenomena gelombang panas menyebabkan pemerintah meliburkan sekolah-sekolah.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Fachri Radjab menyebut serangkaian gelombang panas ini diduga disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, gerakan semu matahari pada akhir April dan awal Mei ini berada di atas lintang 10 derajat Lintang Utara yang bertepatan dengan wilayah-wilayah Asia Tenggara daratan. Hal ini menyebabkan penyinaran matahari sangat terik dan memberikan background kondisi yang panas.
Faktor kedua adalah anomali iklim El Nino 2023/2024. Analisis data historis menunjukkan bahwa saat terjadi El Nino, wilayah Asia Tenggara daratan akan mengalami anomali suhu hingga mencapai 2 derajat di atas normal pada periode Maret-April-Mei.
Adapun faktor ketiga yaitu pengaruh pemanasan global yang menyebabkan suhu terus meningkat dari tahun ke tahun. Kombinasi ketiga faktor tersebut menyebabkan suhu udara pada April-Mei ini menjadi sangat ekstrem di wilayah Asia Tenggara.
“Mudah-mudahan situasi tersebut tidak terjadi di Indonesia,” imbuhnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia