Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi suhu udara permukaan rata-rata bulanan di Indonesia sepanjang tahun 2025 akan lebih panas. Berdasarkan prediksi tersebut, suhu di Indonesia akan meningkat antara 0,3°C hingga 0,6°C pada periode Mei hingga Juli 2025, dengan rata-rata +0,4°C.
Kondisi ini akan menyebabkan suhu lebih hangat dibandingkan kondisi normal. Wilayah yang perlu masyarakat waspadai terkait anomali suhu tinggi antara lain Sumatra Bagian Selatan, Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Prediksi ini tertuang dalam laporan Climate Outlook 2025 atau Pandangan Iklim 2025 oleh BMKG. Laporan tersebut dapat digunakan oleh Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan berbagai pihak terkait sebagai panduan dalam perencanaan serta kegiatan pembangunan di sektor-sektor yang terdampak fenomena iklim.
Tidak Terjadi Anomali Iklim
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2025 tidak akan terjadi anomali iklim besar. Hal ini karena prediksi fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) berada dalam kondisi netral. Sementara itu, kondisi La Niña yang lemah akan terus berlangsung hingga awal tahun 2025.
“Berdasarkan kondisi dinamika atmosfer dan laut tersebut, BMKG memprediksi sebagian besar wilayah Indonesia pada tahun 2025 akan mengalami curah hujan tahunan pada kategori normal dengan jumlah curah hujan tahunan berkisar antara 1000-5000 mm per tahun,” ungkap Dwikorita di Jakarta, Senin (4/11).
BACA JUGA: Gelombang Panas Landa Sejumlah Negara Dunia, Bagaimana Indonesia?
Dwikorita memaparkan, dari angka tersebut, sebanyak 67% wilayah Indonesia akan berpotensi mendapatkan curah hujan tahunan lebih dari 2.500 mm/tahun (kategori tinggi). Kemudian, berdasarkan prediksi sebanyak 15% wilayah Indonesia akan mengalami curah hujan atas normal.
“Terdapat pula 1 % wilayah Indonesia yang kami prediksi mengalami hujan tahunan di bawah normal, yaitu meliputi sebagian kecil Sumatera Selatan bagian barat, sebagian kecil Nusa Tenggara Timur, sebagian kecil Maluku Utara, sebagian Papua Barat bagian utara,” imbuhnya.
Ia juga mengingatkan perlunya kewaspadaan terhadap potensi hari tanpa hujan yang berkepanjangan. Terutama di Bali, NTB, dan NTT, yang dapat meningkatkan risiko kekeringan.
BMKG Beri Rekomendasi Antisipasi Iklim
Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan BMKG menyertakan sejumlah rekomendasi umum untuk sektor-sektor terkait atau terdampak oleh fenomena iklim tersebut.
Salah satunya prediksi terkait curah hujan tahun 2025 yang mayoritas mengalami kondisi curah hujan normal hingga atas normal. Kondisi ini sangat cocok untuk mendukung upaya meningkatkan produktivitas tanaman pangan di wilayah-wilayah sentra pangan.
Namun, untuk daerah sentra produksi pangan yang berdasarkan prediksi mengalami hujan bawah normal, masih memungkinkan untuk melakukan tindakan antisipasi. Tindakan tersebut meliputi penyesuaian pengelolaan aktivitas pertanian, seperti pola tanam dan ketersediaan air. Ia juga menyarankan agar daerah tersebut memilih bibit komoditas yang lebih sesuai dengan kondisi iklim yang ada.
BACA JUGA: Perubahan Iklim Nyata, Kenaikan Suhu Picu Badai Tropis dan Bencana
“Dengan upaya dukungan intensifikasi seperti irigasi dan upaya pendukung lainnya, wilayah sentra produksi pangan tersebut masih berpotensi menghasilkan produktivitas tanaman pangan yang baik,” tuturnya.
Sedangkan untuk wilayah yang terdapat potensi jumlah curah hujan tahunan 2025 melebihi rata-ratanya atau di atas kondisi normalnya. Maka dari itu, perlu antisipasi potensi kejadian hidrometeorologi ekstrem basah dan dampak turunannya seperti banjir dan tanah longsor. Khususnya pada puncak musim hujan.
Langkah antisipatif juga perlu untuk wilayah yang berpotensi mengalami curah hujan di bawah normal yang dapat memicu kekeringan. Bahkan, ada dampak lanjutannya berupa kebakaran hutan dan lahan, khususnya pada puncak musim kemarau.
“Perlu meningkatkan optimalisasi fungsi infrastruktur sumber daya air pada wilayah urban atau yang rentan terhadap banjir. Seperti penyiapan kapasitas pada sistem drainase, sistem peresapan dan tampungan air, agar secara optimal dapat mencegah terjadinya banjir,” tambahnya.
Selain itu, ia juga menekankan perlu memastikan keandalan operasional waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lainnya. Hal ini untuk pengelolaan curah hujan tinggi saat musim hujan dan penggunaan sumber daya air di saat musim kemarau.
Waspadai Potensi Bencana Hidrometeorologi
Terkait antisipasi potensi dampak La Niña lemah pada awal tahun 2025, Ardhasena menyampaikan bahwa ada potensi penambahan curah hujan hingga 20% di atas normal. Potensi ini dapat meningkatkan frekuensi bencana hidrometeorologi. Oleh karena itu, kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait perlu meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi bencana tersebut.
“Kewaspadaan ini tetap diperlukan mengingat data catatan bencana menunjukkan bahwa setiap tahun selalu terdapat kejadian kebakaran hutan dan lahan. Kewaspadaan juga untuk antisipasi suhu udara yang naik pada Mei-Juli 2025,” kata Ardhasena.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia