Jakarta (Greeners) – Gas rumah kaca yang berlebihan dampaknya semakin mengkhawatirkan bagi manusia dewasa ini. Tidak hanya pada kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya, gas rumah kaca yang berlebihan juga berdampak pada berbagai hal yang langsung berkaitan dengan keseharian kita. Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geologi, Dr. Ir. Dodo Gunawan, DEA, kepada Greeners di Jakarta, Kamis (3/9).
“Ada tren atau kecenderungan kadar gas rumah kaca seperti methana dan karbondioksida meningkat dalam satu dekade terakhir,” jelas Dodo.
Methana dan karbondioksida merupakan dua gas yang menjadi ukuran BMKG dalam mengamati gas rumah kaca. Dari data resmi yang dilansir BMKG, terjadi tren peningkatan kadar methana dan karbondioksida di Indonesia dalam rentang 10 tahun terakhir, yaitu antara tahun 2004 hingga 2014.
Dari data tersebut, kadar konsentrasi methana (CH4) pada April 2014 lebih dari 1910 part per billion (ppb). Sementara, pada April 2004 hanya berkisar pada 1770 ppb. Sementara itu, konsentrasi karbondioksida pada 2014 menyentuh 400 part per million (ppm). Lebih tinggi dari tahun 2004 yang hanya berkisar di antara 365 sampai 380 ppm.
Dengan kadar gas rumah kaca yang menunjukkan tren peningkatan, Dodo menyatakan bahwa kondisi alam saat ini tidaklah sama dengan kondisi masa lalu. Namun, naiknya suhu dunia secara signifikan menghasilkan dampak buruk dan tidak bisa dibiarkan.
“Sekarang adalah masa transisi bagi manusia dalam menghadapi perubahan iklim yang signifikan dalam beberapa waktu ini,” ujarnya.
Salah satu dampak dari perubahan iklim, lanjutnya, adalah berubahnya masa tanam dan masa panen bagi petani. Masa tanam petani yang berubah dibandingkan beberapa dekade lalu, berdampak pula pada pasokan pangan. Selain itu, intensitas cuaca ekstrem pun cenderung semakin tinggi.
Menurut Dodo, daerah yang memiliki curah hujan tinggi akan sering dilalui hujan deras dan angin kencang. Sebaliknya, daerah yang kering dapat mengalami musim kekeringan yang panjang.
“Seperti saat ini, bulan Juni sampai Agustus musim kering panjang. Ada beberapa daerah yang kekurangan air bersih,” jelas Dodo.
Dengan kondisi seperti saat ini, menurut Dodo, masyarakat harus lebih menyadari dan memperhatikan mengenai kenaikan suhu dunia yang diakibatkan oleh gas rumah kaca. “Karena kita tidak tahu efek apalagi yang akan menyerang,” tegas Dodo.
Ia juga menyatakan bahwa BMKG telah berkordinasi dengan berbagai instansi terkait mengenai fenomena alam yang berkaitan langsung dengan gas rumah kaca dan perubahan iklim.
Sebagai informasi, dari data yang dilansir oleh BMKG, selama tahun 2015 ini tercatat tiga kali konsentrasi ozon permukaan mendekati ambang batasnya, yaitu pada bulan Februari, April dan Juli. Dalam ke tiga bulan tersebut, tercatat konsentrasi ozon permukaan melebihi 100 part per billion (ppb). Angka ini berada sedikit di bawah ambang batas “aman” untuk ozon permukaan, yaitu 120 ppb.
Di Indonesia sendiri terdapat dua tempat yang dijadikan area pengukuran ozon permukaan. Dua tempat tersebut adalah Kemayoran di Jakarta Utara dan Kototabang di Sumatera Barat. Jakarta sendiri adalah kota yang memiliki kadar ozon permukaan tertinggi di Indonesia.
Penulis: TW