BMKG: Hujan Intensitas Tinggi Berpotensi Terjadi hingga 11 Maret

Reading time: 3 menit
Kepala BMKG Dwikorita mengatakan hujan intensitas tinggi berpotensi terjadi hingga 11 Maret. Foto: BMKG
Kepala BMKG Dwikorita mengatakan hujan intensitas tinggi berpotensi terjadi hingga 11 Maret. Foto: BMKG

Jakarta (Greeeners) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi dalam periode 4–11 Maret 2025, hujan dengan intensitas tinggi masih berpotensi terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Khususnya di bagian barat Indonesia dan Kepulauan Papua.

Deputi Bidang Meteorologi BMK, Guswanto mengatakan bahwa gelombang atmosfer seperti Rossby Ekuatorial, Low Frequency, dan Kelvin akan tetap aktif. Hal itu terjadi di sebagian besar Sumatra, Jawa bagian barat, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, serta Kepulauan Papua. Fenomena ini berdampak pada peningkatan pertumbuhan awan hujan dengan intensitas bervariasi di wilayah-wilayah tersebut.

“Curah hujan tinggi masih berpotensi terjadi dan perlu kita waspadai, terutama di wilayah-wilayah yang rentan terdampak cuaca ekstrem,” ungkap Guswanto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/3).

BACA JUGA: Ratusan Rumah Terendam, Warga Sebut Banjir Bekasi Terparah

Ia menerangkan, analisis terbaru juga menunjukkan terbentuknya sirkulasi siklonik di Samudra Hindia, tepatnya di barat Aceh, serta di selatan Papua. Keberadaan sirkulasi siklonik ini menyebabkan perlambatan kecepatan angin atau konvergensi di berbagai perairan, termasuk Laut Natuna, Laut Banda, perairan selatan Sulawesi, Laut Arafuru, dan Maluku. Selain itu, daerah pertemuan angin (konfluensi) juga terdeteksi membentang di Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafuru, hingga Papua bagian selatan.

Daerah perlambatan kecepatan angin (konvergensi) lainnya juga terpantau memanjang dari Pesisir Timur Riau hingga Kepulauan Riau, dari Sumatra Barat hingga Sumatra Selatan. Kemudian, juga terpantau dari Samudra Hindia, selatan Jawa Timur hingga selatan Jawa Barat, dari Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan, dari Laut Sulawesi hingga Kalimantan Timur.

Guswanto mengatakan bahwa kondisi ini berpotensi memicu peningkatan curah hujan di wilayah-wilayah tersebut. Bahkan, dapat berdampak pada aktivitas maritim serta masyarakat pesisir.

Ilustrasi hujan intensitas tinggi. Foto: Freepik

Ilustrasi hujan intensitas tinggi. Foto: Freepik

Fenomena MJO

Di sisi lain, fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) juga masih aktif di Kepulauan Papua. Hal ini turut memperkuat dinamika atmosfer di kawasan timur Indonesia. MJO berkontribusi terhadap peningkatan aktivitas konveksi yang dapat memperbesar potensi hujan deras di sejumlah wilayah.

Sementara itu, analisis labilitas lokal mengindikasikan potensi signifikan untuk perkembangan awan konvektif di berbagai daerah. Di antaranya Aceh, Sumatra Utara, Sumtra Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, serta hampir seluruh wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Labilitas atmosfer ini berperan dalam mendukung proses pembentukan awan hujan, terutama pada siang hingga sore atau malam hari.

“Dengan meningkatnya aktivitas atmosfer ini, BMKG mengimbau masyarakat di wilayah terdampak untuk tetap waspada terhadap potensi hujan lebat yang dapat disertai kilat, angin kencang, hingga kemungkinan banjir di daerah rawan. Pemantauan cuaca secara berkala sangat penting untuk mengantisipasi dampak dari dinamika atmosfer yang terus berkembang,” pungkasnya

Peran Pemerintah Daerah

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati juga menegaskan bahwa peran peran serta pemerintah daerah dalam mitigasi bencana sangat krusial. Terutama dalam memastikan bahwa setiap peringatan dini ditindaklanjuti dengan langkah antisipatif di lapangan.

Dwikorita mengatakan bahwa peringatan dini bukan sekadar informasi, tetapi juga seruan untuk tindakan nyata. Kecepatan dan kesiapan dalam merespons peringatan dini cuaca ekstrem sangat menentukan upaya mitigasi risiko. Hal ini baik dari segi korban jiwa maupun kerugian materiil.

“Kami terus menyampaikan peringatan dini cuaca ekstrem melalui berbagai kanal komunikasi resmi, termasuk website, aplikasi mobile, SMS blasting dan media sosial BMKG. Namun, efektivitas peringatan dini ini sangat bergantung pada kesiapan daerah dalam meresponsnya dengan langkah konkret,” ujar Dwikorita.

BACA JUGA: Studi: Regulasi Pengelolaan Lahan Gambut Masih Lemah

Menurutnya, saat ini memerlukan koordinasi yang lebih erat antara pemerintah daerah dan masyarakat. Hal ini guna meminimalkan risiko bencana hidrometeorologi secara lebih cepat dan efektif.

BMKG juga memahami banyak daerah saat ini dipimpin oleh kepala daerah baru yang mungkin masih dalam proses adaptasi dengan perangkat di bawahnya. Oleh karena itu, Dwikorita menegaskan bahwa BMKG siap memberikan pendampingan lebih lanjut. Tujuannya agar pemahaman terhadap sistem peringatan dini semakin optimal dan dapat diterjemahkan ke dalam tindakan mitigasi yang efektif.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top