Jakarta (Greeners) – Pengelolaan dengan baik blue carbon atau karbon biru di Indonesia diyakini oleh utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim Rachmat Witoelar akan mampu mempercepat target penurunan emisi sesuai dengan First NDC (Nationally Determined Contributions) Indonesia yang telah disampaikan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada November 2016.
First NDC ini adalah bentuk kontribusi Indonesia untuk mengimplementasikan Persetujuan Paris yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016, dengan target penurunan emisi GRK sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri (unconditional) dan 41 persen dengan dukungan internasional (conditional) dibandingkan dengan tanpa ada aksi (business as usual) pada 2030.
Rahmat mengatakan, dengan pengelolaan karbon biru secara serius, maka peluang bagi Indonesia untuk lebih ambisius menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari target lima sektor yang telah ada seperti sektor kehutanan (17,2 persen), energi (11 persen), pertanian (0,32 persen), industri (0,10 persen) dan limbah (0,38 persen), diakuinya akan lebih cepat tercapai.
“Dengan menambahkan sektor kelautan untuk penyerapan karbon, tentu target penurunan emisi Indonesia bisa lebih ambisius dari 29 persen di 2030. Tidak perlu sampai mengubah NDC, ini kan sifatnya penambahan sektor saja,” terangnya, Jakarta, Jumat (08/09).
BACA JUGA: Tutupan Padang Lamun Indonesia Hanya 40 Persen
Deputi Bidang SDM, Iptek dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Maritim Safri Burhanuddin mengatakan, berbeda dengan ekosistem daratan yang cenderung tidak akan bertambah pada saat tertentu, ekosistem pesisir justru mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam sendimen secara terus-menerus dalam kurun waktu yang lama bila dikelola dengan baik.
Terdapat tiga ekosistem yang berpotensi sebagai karbon biru, yaitu mangrove, padang lamun, dan kawasan payau. Karbon biru merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbondioksida di Bumi dengan cara menjaga keberadaan hutan bakau, padang lamun, rumput laut dan ekosistem pesisir. Vegetasi pesisir diyakini dapat menyimpan karbon 100 kali lebih banyak dan lebih permanen dibandingkan dengan hutan di daratan.
“Ekosistem pesisir mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam sedimen secara terus-menerus dalam kurun waktu yang lama bila dikelola dengan baik,” ujarnya.
BACA JUGA: Pemerintah Mulai Merinci Implementasi NDC Indonesia
Safri mengakui bahwa pemanfaatan ekosistem pesisir untuk karbon biru masih memerlukan pengelolaan ekosistem pesisir yang berkelanjutan dan koordinasi antar kementerian serta pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan komunikasi yang konstruktif untuk bersama-sama menyusun Roadmap Blue Carbon Indonesia.
Selain itu, ekosistem pesisir mempunyai peran kunci dan efektif bagi masyarakat sebagai solusi adaptasi alami dan mitigasi dampak perubahan iklim, seperti cuaca ekstrim dan perlindungan terhadap bencana alam. Tanpa ekosistem pesisir, masyarakat pesisir di Indonesia akan mengalami kesulitan ekonomi yang sangat serius sebagai dampak dari tekanan yang ditimbulkan oleh kegiatan perikanan tangkap, budidaya dan pariwisata.
Belum diutamakan
Sebagai informasi, menurut data REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) kerusakan ekosistem mangrove relatif lebih tinggi dibanding ekosistem padang lamun, sekitar 3,7 persen pertahun dengan tingkat kerusakan paling tinggi terjadi di pulau Jawa terutama Pantura. Kondisi terbaik ekosistem ini berada di utara Kalimantan Timur dan kawasan Indonesia Timur (Papua dan Maluku).
Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) ke-22, di Marrakesh, Maroko, karbon biru telah digaungkan sebagai salah satu kontribusi bagi target pengurangan emisi karbon di dunia. Secara global, sebanyak 151 negara memiliki karbon biru, tetapi hanya 50 negara yang mengagendakannya untuk pengurangan emisi (NDC). Indonesia sebagai negara yang memiliki ekosistem karbon biru terbesar di dunia sudah sepantasnya mengambil peran penting dalam percaturan karbon biru global.
Dari penelitian karbon biru yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) bersama stakeholders terkait sejak lima tahun terakhir, padang lamun memiliki potensi menyerap dan menyimpan karbon sekitar 4,88 ton/Ha/tahun. Total ekosistem padang lamun di Indonesia dapat menyimpan 16,11 juta ton karbon /tahun.
Untuk ekosistem mangrove, rata-rata penyerapan dan penyimpanan karbon sebesar 38,80 ton/Ha/tahun. Jika di hitung secara total maka potensi penyerapan karbon ekosistem mangrove adalah 122,22 juta ton/tahun. Namun, Indonesia telah kehilangan lebih dari seperempat luas hutan bakau dalam tiga dekade terakhir dari 4,20 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,48 juta hektar pada tahun 2017.
Penulis: Danny Kosasih