Bird Strike: Ancaman Tersembunyi di Dunia Penerbangan

Reading time: 3 menit
Bird strike dapat menyebabkan kecelakaan pesawat. Foto: Freepik
Bird strike dapat menyebabkan kecelakaan pesawat. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Kabar duka kembali datang dari dunia penerbangan. Sebuah kecelakaan pesawat Jeju Air di Bandara Internasional Muan, Korea Selatan, pada Minggu (29/12) lalu menjadi sorotan dunia. Insiden yang menewaskan 179 orang diduga disebabkan oleh bird strike atau tabrakan antara pesawat dan burung.

Tabrakan itu menyebabkan roda pendaratan depan gagal berfungsi, membuat pesawat tergelincir hingga menabrak pagar beton. Jika menelusuri catatan sejarah, kecelakaan serupa sudah pernah terjadi sebelumnya, seperti kasus US Airways penerbangan 1549 pada tahun 2009.

Pesawat tersebut kehilangan daya pada kedua mesinnya setelah menabrak kawanan burung sehingga pilot terpaksa melakukan pendaratan darurat di Sungai Hudson. Keberhasilan pilot menyelamatkan seluruh penumpang tanpa korban kala itu menjadi pengecualian. Sebab, bird strike kerap kali membawa dampak serius bagi keselamatan penerbangan.

Walaupun sebagian besar insiden tidak berujung kecelakaan fatal, bird strike dapat menyebabkan kerugian finansial dan operasional yang sangat besar. Oleh karena itu, bird strike perlu perhatian lebih dari semua pihak yang terlibat dalam dunia penerbangan agar insiden serupa tidak terulang.

Sejarah Bird Strike dan Dampaknya

Pegiat Konservasi Burung Indonesia, Achmad Ridha Junaid mengatakan bahwa ancaman bird strike menjadi bagian dari sejarah penerbangan sejak awal perkembangannya. Pada tahun 1905, Orville Wright melaporkan bahwa pesawatnya menabrak burung saat melakukan uji coba di Dayton, Ohio.

Kasus fatal pertama yang tercatat terjadi pada tahun 1912, ketika Calbraith Perry Rodgers, seorang penerbang  terkenal, meninggal dunia akibat pesawatnya menabrak burung di Long Beach, California. Sejak itu, bird strike menjadi risiko nyata yang harus menjadi pertimbangan dalam dunia penerbangan.

Menurut Data dari International Civil Aviation Organization (ICAO), kerugian finansial global akibat bird strike mencapai hingga US$1,2 miliar setiap tahun. Biaya itu mencakup kerusakan pesawat, penundaan penerbangan, hingga kerugian operasional lainnya.

Sekitar 3,6% insiden bird strike menyebabkan kerusakan serius pada pesawat dan beberapa di antaranya berujung pada korban jiwa. Namun, dampaknya tidak hanya bersifat finansial, melainkan juga trauma psikologis para awak pesawat. Ada kekhawatiran terhadap keselamatan yang sering kali terabaikan.

Strategi Mitigasi Bird Strike

Menurut Achmad, meskipun bird strike tidak dapat hilang sepenuhnya, strategi mitigasi yang sistematis dapat secara signifikan mengurangi risikonya. Pengelola bandara memainkan peran utama dalam mengelola lingkungan agar lebih aman bagi penerbangan dan tidak menarik bagi burung.

Strategi utama untuk mitigasi bird strike dapat melalui manajemen habitat burung yang baik. Idealnya, bandara tidak dibangun di lahan yang menjadi habitat burung. Jika sudah telanjur, area di dalam dan sekitar bandara dapat dikelola dengan cara mengurangi atau menghilangkan sumber daya yang menarik burung, seperti makanan, air, atau vegetasi tertentu.

“Untuk mencegah datangnya burung, pengelola dapat menjaga kebersihan area bandara dan ketinggian rumput yang menjadi habitat utama burung di bandara,” kata Achmad.

Selain itu, perlu juga penggunaan alat pengusir burung. Alat seperti suara predator, laser, atau burung pemangsa terlatih digunakan untuk menjauhkan burung dari area landasan pacu. Pendekatan ini diperkuat dengan pemantauan dan survei populasi burung secara berkala.

Informasi tentang pola migrasi atau aktivitas burung lokal digunakan untuk menentukan waktu dan lokasi risiko tertinggi. Peran teknologi pun tidak kalah penting. Radar dan sistem deteksi real time memungkinkan bandara mendeteksi keberadaan burung di area udara dan mengambil tindakan pencegahan dengan cepat.

Kolaborasi dengan Ahli Biologi

Sementara itu, kolaborasi dengan ahli biologi juga penting. Hal itu untuk memahami perilaku spesifik spesies burung di sekitar bandara sehingga strategi mitigasi dapat disesuaikan.

Kolaborasi antara pengelola Bandara Internasional Soekarno Hatta dan Burung Indonesia dalam kajian risiko bird strike, misalnya, mengidentifikasi blekok sawah (Ardeola speciosa) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis) sebagai dua spesies paling berisiko terhadap bird strike.

“Penilaian ini berdasarkan pada perilaku berkelompok, massa tubuh, ketinggian terbang rata-rata, dan tingkat pengendaliannya. Manajemen habitat padang rumput dan semak dilakukan karena area ini menjadi daya tarik utama bagi kedua spesies yang berisiko tinggi tersebut,” kata Achmad.

Selain tindakan di lapangan, pendidikan dan pelatihan bagi staf bandara dan awak pesawat juga menjadi elemen krusial. Achmad menilai bahwa langkah ini penting guna memastikan semua pihak memahami risiko bird strike dan dapat merespons secara cepat dan tepat jika ancaman terdeteksi.

Pihak maskapai penerbangan juga bertanggung jawab dalam mitigasi bird strike. Maskapai penerbangan dapat memastikan desain pesawat yang lebih tahan terhadap bird strike. Achmad menyarankan maskapai untuk bersikap proaktif dalam menghadapi risiko satwa liar, seperti menunda lepas landas atau mendarat jika melihat burung di landasan pacu.

Akan baik juga jika meninjau skenario serangan burung selama pengarahan pra-penerbangan. Selain itu, awak pesawat sebaiknya merencanakan jarak pendaratan ekstra untuk mengantisipasi sambaran burung yang dapat mempengaruhi penggunaan pembalik dorongan.

Burung Punya Peran Ekologis

Bird strike merupakan pengingat bahwa manusia dan burung berbagi ruang yang sama. Sebagai penghuni bumi, burung memiliki peran ekologis yang tidak tergantikan, termasuk dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Oleh karena itu, mitigasi bird strike tidak hanya soal keselamatan penerbangan, tetapi juga melibatkan upaya untuk memastikan kelestarian burung dan habitatnya. Memposisikan bird strike sebagai isu penting dalam dunia penerbangan merupakan langkah penting untuk menjaga keselamatan penerbangan sekaligus keberlanjutan ekosistem.

Kolaborasi antara industri penerbangan, pengelola bandara, ilmuwan dan praktisi menjadi kunci. Hal itu untuk mengembangkan strategi dan praktik terbaik yang efektif yang sama-sama mengutamakan keselamatan manusia dan burung.

“Harmoni ini tidak hanya melindungi nyawa, tetapi juga menjaga keseimbangan alam yang menjadi bagian dari kehidupan kita,” ujarnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top